Self Love & Relationship

Bercakap Bersama Anggun: Menikmati Hidup

Fotografi Oleh: Christian Krestchmar

COVID-19 menyederhanakan banyak hal. Dua di antaranya adalah kegiatan dan pikiran. Mengerjakan apa yang masih bisa dikerjakan dari rumah dan memikirkan apa yang esensial. Satu sore saya duduk dalam ruang temu virtual bercakap bersama Anggun. Dunia mengenalnya sebagai penyanyi berdarah Indonesia dengan prestasi global. Sementara orang-orang terdekatnya mengenal dia sebagai ibu, istri, dan teman. Dalam 1 jam 46 menit, dari kediamannya di Normandy, Prancis Utara, ia berbagi banyak hal; dari rasa rindu dan cinta yang berlipat terhadap Kirana, hingga perjalanannya mengenal diri dan menemukan relasi romantis yang lebih dewasa dengan Christian Krestchmar.

Marissa Anita (M): Bagaimana pandemi ini mengubah hidupmu, Mbak Anggun?

Anggun (A): Aku nggak pernah selama ini di rumah [untuk waktu yang lama]. Sebelum pemerintah Prancis memutuskan lockdown, kita sudah mengungsi ke country house (rumah di pedesaan Normandia, Prancis Utara – red.) Kita nggak di Paris. Orang Paris terkenal suka marah-marah dan agresif, jadi mendingan kita ke desa untuk menenangkan diri. Tetanggaku yang paling dekat jaraknya satu kilometer dari sini. Seperti hutan kecil. Mungkin karena faktor umur juga ya jadi lebih suka [berada di sini]. Hahaha.

[Sebelum COVID-19] setiap bulan traveling. Aku punya hak asuh bersama dengan papanya Kirana (Cyril Montana – red.) Biasanya seminggu sama papanya, seminggu sama kita (Anggun dan suami, Christian Kretschmar – red.) Kebetulan di akhir Februari, Kirana sudah tiga mingguan sama kita. Waktu aku nyanyi ke Rusia awal Maret, aku titipin dia sama papanya di Prancis Selatan. Sekarang sudah dua bulan nggak ketemu Kirana. Aku kangen anakku. Kita Skype, telepon, Facetime, apa sajalah yang bisa kita lakukan pasti kita lakukan. Hidup kita diguncang pandemi ini dan mau nggak mau kita harus menerima. Faktanya semua orang di seluruh dunia sedang merasakan hal yang sama. Ini membuat kita nggak merasa sendirian.

Aku merasa sejak umur bertambah, aku jadi lebih rumahan. Tapi kita memang mahkluk sosial. Interaksi itu kebutuhan vital sebagai manusia. Aku khawatir banget sama teman-temanku yang sendirian di Paris, yang nggak punya siapa-siapa sama sekali – pacar atau siapa pun. Kehidupan di Paris itu kan lebih “elo-elo, gue-gue” dalam arti yang sebenarnya. Nggak banyak orang yang kenal tetangganya walaupun sama-sama satu lantai.

Aku kadang teleponin teman-teman. Aku bilang ke mereka untuk coba bikin semacam skedul: bangun jangan jam 2 siang, setidaknya mandi setiap hari. Hahaha. Soalnya mereka mikir “kenapa gue harus ‘usaha’, nggak ada juga orang yang ngeliat gue.” Kan kita juga harus menyemangati diri sendiri.

Sekarang teman-temanku malah jadi lebih kenal tetangganya. Mereka jauh lebih supel. [COVID-19] membangkitkan sesuatu yang mungkin tadinya nggak kepikiran. 

Aku merasa sejak umur bertambah, aku jadi lebih rumahan. Tapi kita memang mahkluk sosial. Interaksi itu kebutuhan vital sebagai manusia

M: Bagaimana interaksi dengan tetangga saat diwajibkan secara fisik berjauhan?

A: Lewat balkon. Ngobrol aja. Karena banyak juga yang single mothers (ibu-ibu tunggal – red.) Salah satu temanku, tetangganya nenek yang grumpy (penggerutu – red.) yang sebel sama anak muda dan dia tinggal sendirian. Sekarang tiba-tiba dia jadi menyapa semua orang.

Kita masih bisa keluar selama satu jam – apakah itu untuk olahraga atau ke supermarket. Kalau ke supermarket, hanya ada satu orang per keluarga yang bisa masuk dan harus pakai masker. Aku sama suami nyoba buat masker. Hahaha (sambil memperlihatkan masker putih yang baru setengah jahit). Kalau Kirana di sini, aku suruh kerja (jahit). Dia pintar banget, tangannya kan masih kecil.

M: Sejak diharuskan untuk tetap di rumah, tidak sedikit orang yang mengalami cabin fever. Bagaimana dengan mbak?

A: Terus terang aku sama sekali belum ada down moment (merasa sedih – red.) selama lockdown. Aku dan suami lagi sama-sama menguji diri. Nggak ada seorang pun di dunia ini selain suamiku yang aku pilih untuk terjebak bersama dalam satu tempat. Dia jago masak. Dia sangat rajin merawat taman kita. Semuanya diurusin. Dia juga bikin cocktail.

M: Pantas saja nggak punya down moment. Hahaha…

A: Anything that can help? (Apa saja selama bisa membantu?) Hahaha. Kita merasa tidak butuh siapa-siapa. Ini bisa dilihat sebagai salah satu kelebihan kita, tapi juga bisa dilihat berbahaya.

Suamiku orang Jerman. Dia tadinya tinggal di Hamburg. Dulu, waktu kita memutuskan untuk tinggal bersama di Paris, banyak teman-temanku yang bilang “Aduh, Anggun please deh. Jangan, jangan, jangan. Apa yang kamu punya itu sudah sempurna karena ada masa berpisah, ada masa ketemu. Harus ada rasa kangen gitu lho. Kalau barengan terus, itu nggak mungkin.” Tapi ternyata against all odds (melewati segala rintangan – red.) Mungkin karena kita bertemu di saat kita berdua sudah melewati masa-masa sulit. Kita masing-masing sudah dewasa, sudah membuat banyak kesalahan. Sekarang kita go to the essential (fokus pada yang penting-penting saja – red.) Yang esensial adalah dia (Christian) – satu-satunya orang yang aku nggak bisa… orang favorit, lah.

Bahkan sama anak sendiri kan kadang-kadang suka sebel. Apalagi Kirana sekarang udah remaja. Kirana anaknya lumayan enak sih. Dia itu mandiri sekali. Aku udah ngajarin dari dulu. Itu sesuatu yang sangat aku hargai dan aku beri juga ke dia. Seperti harus belajar tentang kebebasan dan privasi. Kalau dia tutup pintu kamar, aku harus ketok. Bukan karena aku mamanya terus aku bisa tinggal masuk.

Aku juga selalu bilang ke Kirana “Aku nggak mau jadi teman kamu ya.” Aku nggak mau jadi sahabat anakku. Dia punya sahabat sendiri, punya teman-teman sendiri. Gengnya dia, lah. Tapi aku tetap jadi mamanya.

M: Menarik. Di jaman sekarang, ada orangtua yang malah sebaliknya. Karena dulu merasa berjarak dengan orangtua mereka, ketika mereka jadi orangtua, mereka mau jadi teman anaknya biar hubungannya dekat

A: Buat aku komunikasi penting sekali. Aku dan Kirana ngobrol semuanya selalu. Nggak ada satu tema pun yang nggak kita bahas. Dia kan belum ‘dapet’ (menstruasi) nih. Umurnya 12 tahun, teteknya udah ada, tapi belum ‘dapet’ sama sekali. Aku was-was. Jangan sampai dia ‘dapet’ pas lagi sama papanya! Hahaha. Dia butuh mamanya. Aku bilang sama dia, “Nanti kalau kamu sudah mulai mens, ada banyak hal yang harus kita bicarakan. Dan mama pengen hal-hal seperti ini mama yang ngomong ke kamu, bukan orang lain.”

Respek [antara orangtua dan anak] itu harus ada. Kita jaga jarak tapi jaraknya itu tidak terlihat. Dia sangat nyaman sama aku, sama suamiku. Justru malah setiap kali dia kirim pesan ke aku, dia tanya “Beau-pap, apa kabar? Masak apa hari ini untuk mama. Aku kangen sama masakannya.”

M: Awww…

A: Aku merasa beruntung punya anak seperti ini. Memang setiap orangtua punya cara membesarkan anak beda-beda tapi buat aku ya ini. Aku sangat menghargai/menghormati kehidupan sosial dia. Karena aku tahu seorang anak pribadinya pasti berubah dengan berjalannya waktu. Cara mereka bicara berubah — waktu ada orangtua, nggak ada orangtua, sama teman-temannya, sama guru dan lain-lain. Mereka masih dalam proses mencari diri. Selama ini aku perhatikan dia, membiarkan dia untuk eksplorasi dia itu sebenarnya apa, mau jadi apa, terserah aja.

M: Nilai-nilai apa yang diturunkan ke Kirana?

A: Dia selalu dibilang sama orang-orang, “Aduh, Kirana cantik.” Aku selalu bilang sama dia, “Semua pujian itu bisa kamu ambil dengan senang hati. Tapi jangan lupa, banyak orang memuji karena sopan. Di setiap pujian, berapa persennya itu pasti ada kesopanan. Jadi jangan besar kepala, lah.”

Buat aku gini, lho. Fisik itu kan bukan sesuatu yang akan ada selamanya. Aku bilang sama dia, “Kamu sebagai anak nggak bertanggungjawab atas bagaimana penampilanmu, tapi kamu bertanggungjawab atas bagaimana kamu berpikir. Itu yg paling penting. Cantik boleh. Syukur jadi anak cantik daripada jelek dong. Tapi kalau kamu cantik, pintar, baik hati, waaaahhh itu justru lebih keren.” Jadi aku selalu menggaris bawahi bahwa sisi fisik itu penting tapi itu bukan segalanya.

Penampilan fisik memang salah satu senjata perempuan. Aku dulu pernah bikin lagu judulnya Weapon. Setiap perempuan tahu senjata kita ada di mana, bagaimana cara menaklukan laki-laki. Sebenarnya ada banyak tipe lelaki yang nggak terlalu menggali [perempuan] lebih dalam. Itu tipe yang paling gampang ditaklukan – disenyumin aja, dikedip-kedipin aja udah cukup. Hahaha!

M: Hahaha!

A: Tiap malam, Kirana pasti cerita hari ini ngapain aja di sekolah. Dia cerita lah temannya umur 12 tahun udah ada yang ngerokok, udah punya pacar, dan lain-lain. Terus suatu hari dia tanya, “Mama, biseksual itu apa sih?” Dia tanya soalnya ada temannya yang lesbian. Teman-temanku banyak yang gay. Aku bilang ke Kirana, “Menjadi gay itu bukan pilihan.” Dia tanya lagi, “Tapi kalau biseksual gimana ya mama?” Ya gimana ya, aku susah juga ngejelasinnya karena aku nggak paham. Aku terus terang sama dia aku nggak tahu apa-apa tentang ini. Yang aku suka dari hubunganku dengan Kirana adalah ketika aku nggak tahu, ya aku bilang nggak tahu dan itu harus. Kejujuran itu harus kita junjung tinggi. Tapi ada tipe kejujuran yang seharusnya kita simpan saja. Kita harus jujur dengan diri sendiri tapi nggak semua kejujuran itu bagus untuk diungkapkan.

Kita harus jujur dengan diri sendiri tapi nggak semua kejujuran itu bagus untuk diungkapkan.

M: Maksudnya?

A: Contohnya, aku punya teman. Dalam satu waktu, dia berada dalam dua pilihan hubungan – nggak tahu mau sama yang mana. Yang satu dia suka sekali, yang satu mantan yang kembali.

M: Waaa…

A: Tapi eksnya nggak tahu kalau dia punya pacar baru; pacar barunya nggak tahu kalau eksnya datang lagi.

Dia weekend-an dengan eksnya. Pas dia balik dari weekend, dia ketemu dengan pacar yang baru. Dia bilang sama aku gini, “Gue ngerasa beban banget. Gue kayaknya harus bilang ke dia (pacar baru) karena beneran gue nggak bisa, nggak bisa.”

Aku bilang, “Kamu maunya apa? Mau balik lagi sama eks kamu atau mau sama yang sekarang?”

Dia bilang sebenarnya mau sama yang sekarang. Karena kalau dia sudah jadi mantan ya,,, karena memang sudah ada banyak masalah dulu.

M: It didn’t work back then, what makes you think that it’s going to work now? (Hubungan yang dulu sudah tidak berhasil, apa yang membuat kita berpikir bahwa kali ini akan berhasil, begitu? – red.)

A: Hellooo… (ekspresi setuju). Aku bilang, “Ya udah kalau gitu mendingan kamu putus aja sama si eks. Ngapain sih ngangetin kentang goreng? Pasti nggak enak kan?”

Akhirnya dia stop sama eksnya dan sekarang sama pacarnya yang baru. Tapi tetap setiap hari bilang, “I have to tell him, I have to tell him.” Dia merasa harus jujur dengan pacarnya yang baru. Inilah dia yang menurutku salah satu contoh (kejujuran) yang nggak bagus.

M: Karena?

A: Kejujuran dia itu pertama-tama nggak akan menambah satu value (nilai – red.) ke hubungan dengan pacar baru ini. Dan kedua, dia merasa harus jujur untuk membuang beban karena dia merasa bersalah. Beban itu dia buang, dia kasih ke pacarnya yang baru, toh?

Aku bilang gini, “Kamu kan dewasa sekarang. Dewasa dalam arti kamulah waktu itu yang memutuskan untuk pergi berakhir pekan sama eksmu. Itu keputusan kamu. Jadi sekarang kamu harus hidup dengan konsekuensinya.”

Buat apa dia harus menyakiti pacar baru hanya karena dia merasa bersalah. Kalau kita cukup dewasa untuk membuat kesalahan, kita harus bertanggungjawab atas kesalahan itu. You have to own it. Apalagi dia cinta sekali dan melihat masa depan dengan pacar barunya ini.

Buat aku jujur itu memang sesuatu yang sangat penting, tapi tergantung juga suasana – bukan kejujuran yang sebetulnya datang dari tempat yang salah.

M: Kejujuran yang datang dari tempat yang salah maksudnya?

A: Buat aku, kalau kejujuran itu bisa menambahkan satu nilai dalam satu hubungan, ya harus dikatakan. Tidak semuanya harus kita katakan. Mungkin kita melakukan white lie (kebohongan putih – red.) untuk seseorang kalau konsekuensinya untuk diri kita tidak banyak, tapi buat orang lain besar. 

Dan menurutku yang temanku lakukan juga bukan kesalahan sih. Kita dalam hidup ini bereksperimentasi. Kita mencoba sebetulnya untuk melihat batas kita di mana setiap hari. Kita seperti anak kecil, tapi kedewasaan itu yang membuat kita berpikir, “Oh yang ini jangan deh. Gue harus stop di sini.”

Aku nggak berpikir dia berbuat salah. Siapa gue menilai kesalahan orang lain. Intinya, jika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu, kita harus bertanggungjawab. Itu saja.

M: Mbak Anggun turunannya Pak Darto Singo dan Ibu Dien Herdina. Seperti apa mereka membesarkan dirimu?

A: Mama orang keraton. Jawa banget – sabar, nerimo, segala sesuatunya by the Javanese book (sesuai aturan Jawa – red.) Nah, bapak anak Pesawahan. Dia intelektual. Dia selalu kasih kita tugas setiap Senin harus baca buku. Hari Sabtu kita harus kasih tahu ke dia buku apa yang kita baca dan apa yang kita serap darinya.

Yang diberi dari bapakku adalah kebebasan. Kita orang Islam, tapi bapak memberi kita kesempatan untuk sekolah di sekolah swasta katolik SD Antonius. Satu keluarga datang dari Kroya. Ayahku 18 bersaudara. Tanteku dari Tanjung Priok datang bawa komik tentang neraka.

Paman-pamanku ada yang dapat beasiswa kuliah sampai ke Amerika, ada yang dokter, ada yang manajer hotel gede banget, dan bapakku penulis buku, seniman sendirian, rebel (pemberontak – red.). Buat mereka, “Oh, anaknya Darto begitu karena bapaknya begitu.”

Dari dulu orang-orang yang fanatik sudah ada. Bapakku selalu bilang, “Orang-orang yang kayak gitu akan selalu ada, tapi jangan diberi ruang. Jangan kamu iyain aja. Cuekin aja, udah, ‘tar juga mati sendiri.” Sekarang ternyata orang-orang itu malah beranak pinak. Mereka mendoktrin orang-orang lain dan sayangnya diberi pengeras suara.

Agak sedih, banyak keluarga yang akhirnya nggak ketemu lagi karena mereka tipe-tipe tertutup seperti itu. Segala sesuatunya pasti dihakimi. Misal, satu tahun lalu aku bikin konser amal di mana hasil penjualan tiket konsernya kita kasih untuk bangun sekolah darurat di daerah yang terkena bencana di Palu dan Donggala. Aku bikin ini, dikritik satu keluarga, “Ih, ngebantuin orang-orang yang nggak kenal.” Hahaha. Apa saja bisa jadi bahan kritik buat mereka. Buat aku sih nggak apa-apa nggak dekat dengan mereka-mereka yang tertutup.

Bapak juga ngajarin tentang menjadi kreatif. Bapak dulu bilang, “Kalau kamu sudah memutuskan untuk berjalan bahwa ini (seniman) profesi kamu, kamu akan tahu bahwa kamu akan hidup dengan kefrustrasian.”

M: Maksudnya?

A: Karena seniman yang jujur akan selalu berusaha memberikan sesuatu yang terbaik dan nggak selamanya semua yang ada di pikiran kita akan bisa dilaksanakan.

Seperti halnya hidup jadi orang dewasa, ada kompromi. Dulu aku sempat nanya ke bapak kalau misal harus berkompromi, di mana ukurannya. Dia bilang, “Yang jelas kamu nggak meninggalkan keunikanmu. Kompromi harus, tapi jangan tinggalkan identitas kamu.”

Identitasku sebagai musisi, sebagai perempuan Jawa. Buatku ini suatu keunikan dan kekayaan yang akan dan harus aku selalu bina. Bukan karena aku nggak lahir di Yogya, tiba tiba aku melupakan eyangku tinggal di Prawirotaman atau leluhurku para petani dari Kroya. Aku bangga banget untuk represent (mewakili mereka – red.)! Mungkin nggak melulu harus pakai batik. Seperti parfum, lah. Bisa dicium tapi nggak keliatan.

Dulu aku sempat bikin parfum namanya Grace. Aku pergi ke Grasse, satu kota pusatnya parfum. Aku belajar tentang aroma dan kesan-kesannya. Apa kesan pertama, kedua, ketiga, dan apakah kita mau meninggalkan jejak aroma kita ketika meninggalkan ruangan.

Aku suka parfum yang sangat dark (gelap), musky, amber, sandalwood (kayu Cendana), deep rose. It says a lot about women (Kita bisa mengira-ngira karakteristik perempuan dari aroma kesukaannya – red.)

M: Apakah pilihan aroma ini sesuai dengan karakteristikmu, mbak?

A: Mmm… Dulu aku pernah selama dua tahun setiap minggu menjalani psikoterapi. Buat aku waktu itu penting untuk belajar menyelami diri, untuk tahu kenapa aku punya pola yang sama terus dan bagaimana memutus siklus ini.

Psikoterapis nggak memberi saran, sama sekali nggak. Aku ngeliat psikoterapi begini: kita ke dry clean (layanan cuci kering) bawa baju yang ada noda. Psikoterapi itu membantu kita cari tahu “noda” ini asalnya dari mana. 

M: Psikoterapis bukan memberi solusi untuk membersihkan “noda” dalam hidup kita?

A: Setelah beberapa tahun, aku menyimpulkan itu tugas kita sendiri untuk cari tahu “noda” itu datangnya dari mana. Kita sendiri yang harus tahu bagaimana membersihkannya. Kita harus bersihin sendiri. Mungkin salah satu pelajaran yang aku ambil dari terapi adalah untuk tidak menjadi sahabat anakku. Aku berikan anakku cinta, apa saja. Setiap kali ada masalah dia bisa tanya ke aku. Tapi aku nggak akan memberikan solusi untuk dia. Non (tidak), dia harus mencari solusi juga.

Contoh, dia waktu umur dua tahun suka banget makan jeruk nipis. Aku bilang, “Kirana, mama kan udah bilang ya. Ini asem banget bisa bikin kamu sakit perut. Tapi ya terserah kamu, mama kan udah bilang.”

Buat aku gini, mungkin ada banyak hal yang tidak akan mungkin kita dapatkan solusinya. It’s okay (tidak apa-apa). Aku sudah belajar bagaimana nggak apa-apa dengan ini. Dan mungkin hidupku seperti Menara Pisa, miring tapi nggak jatuh. Dan mungkin kalau aku ditegakkan aku bisa roboh. Mungkin buat aku itu…

M: Berarti menerima…

A: Menerima segala kekurangan, menerima segala neurosis. Itu bagian yang membuat kita menjadi siapa kita. Kita kan nggak sempurna dan sempurna itu kan membosankan. Siapa sih yang sempurna?

M: Tapi kadang ada yang membawa itu ke titik ekstrem. Misal, “Ya udah ini kan gue? Gue kan nggak sempurna. Gue punya kebiasaan kayak gini. Terima aja. Kalau elo nggak suka, ya udah elo pergi aja”

A: Buat aku itu kekanak-kanakan sekali. Orang yang dewasa nggak akan berkata seperti itu. Orang yang dewasa mengerti kemampuan dan keterbatasan. Buat aku, justru karena aku tahu keterbatasanku… mungkin aku akan coba ngetes diri, tapi dalam proses ngetes diri, aku nggak mau menyakiti diri sendiri dan orang lain. Penting mempelajari keterbatasan diri. Dalam cerita cinta juga, misalnya memutus pola kenapa perempuan cenderung tertarik sama laki-laki yang nakal.

Orang yang dewasa mengerti kemampuan dan keterbatasan.

M: Aku punya teman yang seperti ini. Dia bilang laki-laki yang nakal itu lebih seru dan nggak ngebosenin…

A: Hellooo… (ekspresi setuju). Kenapa sih harus selalu menyakiti diri sendiri?

M: Mbak pernah bilang, kalau pilih teman dan pasangan harus hati-hati. Maksudnya?

A: Dulu waktu kita masih kecil selalu dibilangin sama orangtua kita kalau berteman itu jangan milih-milih, berteman dengan siapa aja. Kayaknya sekarang ini justru kita harus pilih-pilih dengan siapa kita berteman, dengan siapa kita mau diasosiasikan. Karena di dalam hidup kan yang dipilih cuma teman dan pasangan hidup. Sederhana sih sebenarnya, carilah teman yang baik, yang nggak memberi pengaruh jahat atau nggak benar atau ngawur. Carilah teman yang punya pandangan luas, yang nggak rasis. Aku coba ajarin Kirana untuk lebih sadar dengan lingkungan di sekitarnya.

Kalau untuk pasangan hidup, suatu waktu aku bakal kasih tau dia kalau dia sudah cukup umurnya berdasarkan pengalaman hidupku sendiri. Mungkin karena dari dulu aku nyanyi, itu membentuk mentalitas juga sih. Nyanyi dari kecil, dari yang awalnya senang nyanyi, senang bikin orang lain senang, sampai [nyanyi] kayak semacam kewajiban. Dengan menyanyi, aku menghasilkan banyak sekali uang yang orangtua nggak mungkin bisa dapat. Jadi diwajibkan untuk menyanyi.

Sebenarnya seumur hidup aku nggak pernah mikirin diri sendiri, jarang sekali. Sampai sekarang juga sebetulnya masih kayak gitu cuma udah lumayan, udah bisa belajar egois.

Dulu, setiap kali jatuh cinta atau cari pasangan hidup, polanya tuh selalu sama. Aku tuh seakan-akan mencari orang yang bisa diperbaiki atau dengan adanya aku di hidup dia, itu membuat hidup dia bahagia. Nah, jeleknya dari ini adalah aku selalu dibutuhkan oleh seseorang tapi aku nggak pernah membutuhkan dia. Jadi sekarang, baru pertama kalinya di hidupku aku mikir, "Apa sih sebetulnya yang aku butuhkan dalam hidup?” Ternyata banyak sekali yang aku kurang. Seperti anak yang kurang gizi, aku itu wanita yang kurang gizi cinta sebenarnya. Jadi dengan suami ini untuk pertama kali aku punya relasi yang sangat dewasa lahir dan batin.

M: Banyak kebijaksaan yang bisa dibagi ke Kirana ya mbak?

A: Jadi orangtua tidak gampang, tapi sebenarnya tidak sulit juga. Aku dulu waktu hamil dan waktu anakku lahir, aku pengen banget ada orang yang bilang, “You know, your live is going to change hugely, but it’s natural.” (Tahu nggak, dengan punya anak, hidup kamu akan berubah sekali tapi semua ini alami – red.) Aku nyusuin dia sampai umur sepuluh bulan. Dua bulan pertama setiap dua jam pasti nyusuin. Ya paling capek secara fisik. Tapi perubahan ini – perubahan yang besar yang mereka bicarakan ini – bukan sesuatu yang membuatku merasa frustrasi atau kehilangan ini itu. Ternyata nggak. Aku dulu orangnya rumahan banget. Setiap kali harus kerja kemana, kepengennya pulang. Banyak hal yang aku dapatkan karena Kirana. Yang tadinya pusat perhatianku di sini (diri sendiri), sekarang digeser bertanggungjawab atas anak kecil ini. Tapi perasaan ini natural, jadi nggak ngeliat sama sekali berat. Nggak ada yang berat menjadi orangtua. Yang ada hanyalah rasa cinta yang bisa dimultiplikasi. Inilah hebatnya jadi ibu. Inilah hebatnya jadi perempuan.

M: Ada perempuan yang ragu punya anak karena merasa belum selesai dengan dirinya sendiri. Dia khawatir menumpahkan bagasi emosinya ke anaknya sehingga anak ini hanya menjadi jadi satu lagi “damaged person” di dunia. Bagaimana pemikiran mbak tentang ini?

A: Setiap orang pasti punya bagasi emosi. Buat aku, kita terlalu banyak mengintelektualisasi, terlalu mikirin sesuatu. Kayak tadi itu lho, “Itu nodanya apa sih? Itu mustard ya? Kayaknya mustard deh.”

M: Hahaha.

A: Sebagai penyanyi, ada kontrak ini itu segala macam, tampil di TV. Segala sesuatu harus direncanakan. Tapi kita nggak bisa merencanakan ovarium kita kan?

M: Ya sih. Apalagi dengan bertambahnya umur.

A: Dan lebih lama dipikirin, lebih nggak datang lah itu (punya anak). Buat aku, justru kalau kita punya pengertian yang seperti mbak punya itu — sebagai orangtua atau calon orangtua yang aware (sadar), justru ini lebih bagus. Aku lebih suka yang seperti ini daripada yang tipe masa bodo — [yang bilang] anak itu titipan Tuhan lah, banyak anak banyak rejeki lah, waaahh no, no, no, no, no, no. Punya anak memang akan membawa perubahan besar dalam hidup, tapi ini adalah perubahan yang indah.

M: Wah, aku jadi mikir punya anak lho.

A: Hahaha. Nanti anaknya namanya Anggun ya, hahaha. Justru mungkin mbak nanti jika suatu hari anak itu datang, mbak akan ngerasain satu fenomena yang buat aku kayak jatuh cinta, tapi jatuh cinta terus. Dia itu selalu ada di sini (hati). Inilah yang buat aku paling berharga dan nggak bisa aku dapatkan di tempat lain. Aku sudah nyanyi di mana-mana, di banyak panggung, sudah patah hati berkali-kali, sudah mengalami rasa jatuh cinta yang bergairah dan liar dengan orang ini atau orang itu, tapi semua ini tidak ada yang sebanding dengan cinta ke anakku. Ini jatuh cinta yang you give everything for that person (kita berikan segalanya untuk orang ini).

M: Beda dengan cinta yang mbak rasakan untuk Christian?

A: Beda. [Dengan Christian] ada ketegangan seksual. Hahaha!

M: Hahaha. Ya, di medsos mbak terlihat jatuh cinta sekali sama Christian

A: Ya. Mungkin sekarang aku belajar mengapresiasi benar dan belajar untuk menjadi vulnerable (rapuh dalam artian positif – red.) Aku tahun ini 46 tahun dan suamiku 51 tahun. We are adults. We don’t have time… (Kita orang dewasa. Kita tidak lagi punya waktu untuk… – red.)

M: For bullshit? (Untuk omong kosong?)

A: Ya. Back to the essential (kembali ke apa yang penting saja – red). Dan yang penting itu adalah aku punya seseorang yang aku cintai dan membuatku bahagia melihat wajahnya ketika aku bangun tidur. Buat aku aspek fisik itu juga penting sekali. Banyak yang tanya, “Mbak, apa sih resep awet muda?” You have to have a lot of sex (harus sering berhubungan seks – red.)

M: Hahahahaha!

A: Bah oui… Iya dong. Sebenarnya mudah sih. You have to feel love, be loved and make love (Kita harus merasakan cinta, dicintai dan bercinta – red.)

M: Cinta itu apa menurutmu?

A: Buatku, cinta adalah satu orang yang bisa menyakitimu tetapi juga bisa menyembuhkanmu. Buat aku, itu dia (Christian). Satu-satunya orang. Aku nggak bisa nggak ketemu dia. [Selama isolasi], kita hidup berdua aja 24 jam sehari sampai sekarang. Other people go crazy, not us (orang-orang lain merasa mau gila, kita tidak – red.) Kita nggak berantem. Kalau pun berantem, the fight has to be clean (bertengkarnya harus bersih – red.)

Buatku, cinta adalah satu orang yang bisa menyakitimu tetapi juga bisa menyembuhkanmu.

M: Maksudnya?

A: Nggak ngata-ngatain. Nggak ada kata-kata menghina. Kita berdua sepakat untuk memperlakukan apa yang kita perdebatkan seperti serangga. Kita tidak bunuh serangganya, kita arahkan keluar dari ruangan. The fight has to be clean; the sex has to be dirty. (Bertengkarnya harus bersih, seksnya harus nakal – red.)

M: Hahaha. Nice!

A: Memang bener kok, kita kadang melupakan aspek fisik.

Buat aku, mungkin yang kita butuhkan untuk generasi sekarang nggak hanya pelajaran akademis, tetapi juga pelajaran emosional. Kita harus tahu tentang itu – bahwa patah hati itu adalah sesuatu yang nggak bisa dihindari tapi kita bisa mengatasinya. It’s okay. Itu proses.

Mungkin aku udah ada di umur yang aku hanya ingin yang esensial saja. Aku sekarang hanya menginginkan hal-hal yang indah dalam hidup dan aku mau mengapresiasi ini sepenuh-penuhnya. Aku dan suami selalu ngobrol tentang ini. Penting juga mencari pasangan yang bisa diajak tertawa bersama.

M: Bener banget.

A: Aku pikir Tuhan baik banget. Setelah banyak melewati naik turun dalam hidup, Dia kasih aku suami sebaik ini. Hidupku terasa penuh dengan Christian, dari sisi intelektual dan lain-lain. Kita saling stimulasi lah. Kita juga sangat saling menghormati.

M: Senang dengarnya bisa mengalami perasaan itu… Pertanyaan cepat ya mbak seputar emosi manusia. Apa yang membuatmu bahagia?

A: Segelas anggur, suami dan anak. Urutannya bebas, ya.

M: Apa yang membuatmu sedih?

A: Ngeliat anakku nangis. Dia nangis kalau lagi kangen. Beberapa hari lalu sempat nangis karena lama nggak ketemu tapi nangisnya ditahan.

M: Apa yang membuatmu marah?

A: Ketidakadilan, ketidakseimbangan… Donald Trump!

M: Apa yang membuatmu takut?

A: Aku takut kehilangan orang-orang yang aku cintai atau ada sesuatu yang terjadi dengan mereka.

M: Apa yang bikin semangat?

A: Lagu. Kalau lagi down biasanya dengerin Billie Holiday karena yang dinyanyikan jauh lebih tragis dari yang aku rasakan. Cara dia menyanyikan lagu yang tragis, cerita yang sedih, kesannya dia senyum, seperti nggak mau memberi beban [pendengarnya].

M: Yang lagi dibaca? Bukan La Peste dari Albert Camus kan?

A: (Menunjukkan buku Sapiens karya Yuval Noah Harari). Suamiku udah selesai baca. Sekarang dia lagi baca Hyperion (karya Dan Simmons).

M: Comfort food (makanan yang menenangkan)?

A: Banyak banget. Hahaha. Telor ceplok, nasi hangat, sama kecap manis.

M: Ada lagi yang mau dibagi?

A: Apa pun situasinya, kita harus tetap positif. Nggak apa-apa menjadi positif. Menjadi positif bukan berarti membohongi diri sendiri tapi lebih melihat sesuatu half full (dari sudut pandang yang positif – red.)

Dalam kondisi sekarang, mungkin kita bisa merelatifkan apa yang kita punya. Buat aku, aku punya suami yang aku cintai, punya anak yang sehat, aku punya kesehatan, aku punya uang, it’s not nothing. Banyak hal yang bisa kita apresiasi dari diri sendiri. Ini bukan saatnya untuk memikirkan apa yang kita nggak punya. Ini adalah ‘normal’ yang baru.

Banyak orang yang menjadi agak depresi karena nggak bisa menatap dirinya sendiri. Sendiri dengan pikiran mereka sendiri. Sebenarnya ini kayak terapi diri. Mungkin ini waktu untuk kita menjadi lebih dewasa

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024