Self Art & Culture

Merayakan Perjalanan Dengan Oleh-Oleh

Marvin Sulistio

@marvin.sulistio

Jurnalis Televisi

Ilustrasi Oleh: Atreyu Moniaga Project

Mungkin perjalanan saya ke Isle of Man adalah perjalanan terboros saya sebagai seorang backpacker. Mulai dari tenun wool suku asli Manx, serbet makan flanel, pouch berbahan wool bermotif khas Manx, hingga tatakan gelas berlambang Isle Of Man. Kurang lebih bawaan tersebut semakin menggembungkan backpack saya —yang seharusnya masih bisa muat untuk bawaan ke satu negara lain.

Dulu saya masih terkotakkan dengan persepsi backpacker harus selalu ramping bawaannya. Lalu saya membawa ransel yang sudah menggembung — seperti
menggendong Doraemon di belakang. Tidak sedikit yang menanyakan apakah saya selalu membeli suvenir sebagai oleh-oleh untuk orang lain. Jawabannya saya kadang membelikan suvenir untuk orang lain dan wajib untuk diri saya sendiri.

Saya punya pandangan suvenir adalah memento yang bisa menyimpan cerita yang bisa kita bagikan bagi kerabat atau keluarga yang berkunjung. Anda pasti merasakan betapa mereka antusias mendengarkan perjalanan anda, sembari menceritakan perjuangan mendapatkan memento tersebut?

Suvenir adalah memento yang bisa menyimpan cerita yang bisa kita bagikan bagi kerabat atau keluarga yang berkunjung.

Saya ingat memberikan teman saya sebuah magnet kulkas bergambar Vladimir Putin yang tengah duduk di kursi kebesaran ala Game of Thrones. Saya tidak menyangka bahwa suvenir dan cerita dari saya bisa menjadi bahan obrolan berjam-jam di coffee shop. Atau bahkan bercerita di balik gantungan kunci lambang Isle of Man yang mirip logo produk minuman penyegar di Indonesia. Menarik, ya?

Banyak cerita yang bisa dijabarkan pada waktu perjuangan mendapatkan memento
tersebut. Anda harus tawar-menawar dan mendapatkan harga terbaik dibandingkan
kebanyakan turis, atau menemukan penjual yang ternyata keturunan Indonesia —sehingga Anda dapat bonus, atau bahkan Anda membeli patung Buddha kecil dari seorang nenek di perempatan jalan Chiang Mai? Saya yakin itu adalah hal menarik saat terkenang.

Ada kalanya kita melihat negara produksi suvenir tersebut adalah China atau bahkan Indonesia. “Buat apa membelinya? Toh, di Tanah Abang banyak.” Namun saya tetap membelinya sebab saya yakin membeli suvenir di tempat kita melancong memiliki nilai lebih bagi kita dan mereka. Siapa yang tahu bahwa pembelian kita adalah sumbangan bagi penghidupan mereka.

Selain barang, ada pula hal berharga lain saat berbelanja, yakni saya
bisa berinteraksi dengan orang lokal. Tidak terhitung berapa banyak percakapan yang saya lalui bersama seniman lokal, penjaga toko, petugas sales, bahkan yang tak bisa berbahasa inggris. Bahasa tubuh dan isyarat jari pun menjadi media saya menawar, malamnya itu menjadi bahan caption unggahan saya di Instagram. Mungkin ini saat yang tepat untuk berterima kasih pada penjual syal di Peterhof Palace, Rusia. Selain ia bisa mengucapkan nama saya dengan benar, ia berjasa memberitahu saya dan teman mengenai halte bus dan rute terdekat untuk menuju tengah kota karena akses yang cukup sulit.

Mungkin kegemaran ini bertolak dengan tren Marie Kondo atau bahkan lebih ekstrem: Fumio Sasaki yang tengah digandrungi khalayak. Bahwa hidup yang lengkap ditentukan dari seberapa besar kita melengkapi jiwa dan hidup kita — bukan dari kuantitas barang. Namun jiwa saya kadang terisi penuh saat membeli suvenir di luar negeri. Saya pengikut gaya hidup minimalis, tapi saya penganut tradisi beli suvenir saat traveling. Ironis, sih.

Ada benang merah yang bisa kita tarik dari kedua konsep tersebut (Saya dan Minimalis). Saya yakin bahwa gaya hidup kita adalah cara kita bertanggung jawab pada diri sendiri. Ketika kita memutuskan untuk memborong seluruh suvenir atau memento tersebut, artinya kita siap dengan risiko bagasi tambahan, atau tidak muat, dan bahkan memikirkan bagaimana menyimpannya di rumah.

Gaya hidup kita adalah cara kita bertanggung jawab pada diri sendiri.

Bahwa berhemat saat traveling adalah saran wajar, namun mengatur keuangan sesuai kemampuan adalah kunci utama pada diri kita. Dulu saya selalu khawatir jika tiba di tanah air, saldo tabungan saya mencapai limit akhir pengambilan. Namun melihat apa yang saya dapatkan dan apa yang bisa saya bagi menjadi sumber kebahagiaan saya. Kita lah yang mengatur dan menentukan gaya traveling kita dengan segala konsekuensinya. Kebahagianmu bukan versi mereka. Kebahagiaan terukur dari dirimu sendiri. Bukan pula dari jerih payah orang lain.

Kita mungkin boros saat membeli suvenir tersebut, tapi toh kita sudah mengalokasikan segala pengeluaran sesuai dengan kemampuan kita, kan? Namun saya pun tidak mau tejebak dengan istilah YOLO (You Only Live Once) yang kemudian ditafsirkan secara setengah dan dijadikan pembenaran. Bagi saya YOLO adalah merayakan hidup saya saat itu. Momen yang saya dapatkan, interaksi yang saya dapatkan, dan cerita yang akan saya ukir untuk masa mendatang. Mungkin bukan pembenaran, tapi saya selalu ingat: in your mind, you might be a broke
backpacker or budget traveller, but if you’re travelling for pleasure, you’re one of the richest people in the world. Happy traveling and left your heart there at your fullest.

Kebahagianmu bukan versi mereka. Kebahagiaan terukur dari dirimu sendiri. Bukan pula dari jerih payah orang lain.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024