Self Lifehacks

Pelajaran Dari Masa Kecil

Marchella FP

@marchellafp

Penulis

Fotografi Oleh: Rizka Nurlita

Dalam kacamata saya, setiap orang pasti memiliki pesan yang dititipkan Tuhan padanya untuk disampaikan. Seorang dokter contohnya, ia terlahir dengan pesan untuk menyembuhkan orang, dengan menjadi tangan Tuhan untuk membantu memberi kesembuhan bagi siapa saja yang sakit. Begitu pun profesi lainnya seperti guru, polisi, pilot, dan lain sebagainya. Saya katakan setiap orang memiliki pesan karena, sekalipun orang tersebut memiliki tangan yang ‘mengganggu’, ia akan tetap  menyampaikan  pesan akan suatu pelajaran bagi orang lain. Entah pelajaran sabar, kebesaran hati, kepercayaan, ketulusan, dan masih banyak lainnya. Bertahun meyakini hal ini, lantas apa yang Tuhan coba sampaikan melalui diri saya?

Saya terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Yang saya ingat dari diri saya di masa kecil adalah, saya tidak pernah mendapat ekspektasi apapun dari orang lain, termasuk orangtua. Mungkin karena saya anak bungsu, jadi ibaratnya ekspektasi yang biasanya terdapat di anak pertama dan mungkin kedua sebagai cadangan, tidak ikut ditimpakan ke saya yang merupakan anak ketiga. Seolah, saya menjadi anak baik saja, itu sudah cukup. Oleh karenanya, kehidupan saya selama masa sekolah ya biasa saja. Saya bukan anak pintar atau bodoh, tapi di tengah-tengah. Dari sebanyak 40 siswa, saya berada di ranking 20-an. Bila biasanya anak pintar akan dipuji sementara anak yang kurang secara akademis akan mendapat perhatian lebih, mereka yang berada di posisi tengah, kehadirannya bisa dikatakan antara ada dan tiada. Antara masih dalam kadar aman, atau justru ‘invisible’ alias tidak dikenal. Mungkin terdengar enak hidup tanpa ekspektasi. Namun, bagi saya dahulu, tidak memiliki beban itu, justru menjadi beban.

Mungkin terdengar enak hidup tanpa ekspektasi. Namun, bagi saya dahulu, tidak memiliki beban itu, justru menjadi beban.

Dulu saya suka berpikir, mengapa ya saya tidak diberi ataupun memiliki ekspektasi apa-apa dari siapa pun? Apakah saya sebegitu tidak memungkinkannya menjadi sesuatu? Tidak jarang orang yang menebak jalan hidup saya paling hanya kuliah, lulus, menikah, lalu bahagia tanpa membuat karya apa pun. Saya sendiri pun sempat berpikir mungkin saya hanya kuliah sebentar selama setahun, lalu menikah. Iya, sebiasa itu pikiran saya hingga realita berkata yang lain.

Menyelami kehidupan perkuliahaan, menjadi sarjana itu ternyata hal yang susah. Saya jadi ingat film Si Doel Anak Betawi, dimana Doel, si tokoh utama yang dikisahkan belum juga lulus-lulus kuliah. IP saya, berada di angka satu atau dua koma. Di tahun kedua perkuliahan pun, saya ingin berhenti karena sudah tidak kuat. Di sana saya ingat kata Ibu saya yang membekas di benak; "Siapa suruh kuliah, yang enak itu ya tidur."

Saya memang mengambil sejumlah pekerjaan freelance saat berkuliah dulu. Alasannya, meskipun saya tahu saya tidak mendapat beban ekspektasi, namun saya ingin saat kuliah, saya bisa membuktikan pada orangtua bila saya dapat berdiri di atas kedua kaki saya sendiri, alias menghidupi diri dengan penghasilan yang diperoleh sendiri. Saat itu saya bekerja dengan sangat keras. Selesai satu project, langsung mengambil project lainnya tanpa henti. Ditambah tugas kuliah yang harus diselesaikan dan sejumlah aktivitas lainnya, kondisi kesehatan saya pun mendapat imbasnya. Di awal usia 20 tahun, saya terkena masalah pada liver dan kolestrol. Saya akui saya terlalu memforsir diri dengan bekerja melewati limit. Saat sakit, saya justru bertanya, apakah ini tantangan, atau tanda saya harus beristirahat, ya?

Dari pihak keluarga, mereka meminta saya berhenti bekerja dan fokus kuliah. Dari sini, saya kemudian berpikir, bila saya tidak melakukan pekerjaan sebagai desainer seperti sebelumnya, setelah lulus saya akan menjadi apa? Kemampuan saya kan utamanya di desain, adakah pekerjaan lain yang dapat dilakukan? Masa kuliah selama empat tahun hasilnya begini-begini saja? Apa, sih, pesan yang coba Tuhan sampaikan melalui saya? Mengapa saya belum menemukannya?

Di saat pertanyaan-pertanyaan tersebut menyeruak, saya pun teringat cerita-cerita orangtua akan bagaimana awal kehidupan rumah tangga mereka yang sempat berada dalam fase susah dan berjuang, sebelum akhirnya dapat hidup layak seperti sekarang. Terbesit keinginan dalam diri saat itu, bahwa saya tidak ingin kisah hidup yang saya jalani berjalan biasa saja. Bila saya ingin anak saya kelak menjadi seorang sosok pekerja keras, maka saya harus terlebih dahulu menjadi contohnya. Saya ingin dapat menurunkan cerita atau legacy yang bisa dikenang oleh anak saya nantinya. Saya pun tidak ingin hidup saya sia-sia atau mubazir menghabiskan uang orangtua tanpa saya memiliki hasil yang membanggakan. Oleh karenanya, saya pun memutuskan bila tugas akhir perkuliahan kali ini, harus dikerjakan sebaik mungkin agar dapat menjadi hadiah bagi mereka. Setelah sejumlah riset dilakukan, tema ‘generasi 90-an’ pun keluar untuk karya akhir ini.

Mengingat apa yang saya kenang dari masa kecil saya di tahun 90-an untuk bahan penulisan, salah satu keping ingatan saat krisis moneter melanda pun menyeruak. Saat itu, bisa dikatakan keluarga saya tidak memiliki apa-apa. Membeli mie instan saja, perlu patungan untuk kemudian dimakan bersama-sama. Tapi meski demikian, ajaran orangtua yang terpetik di masa sulit tersebut, sangat tertanam dalam diri hingga kini. Pesan mereka, hal apapun  itu, jangan dilihat susahnya. Walaupun hanya mampu memakan mie instan dari hasil patungan, tapi toh kami sekeluarga tetap bisa berkumpul bersama dan bercanda saat memakannya. Dari situ saya berpikir, saya terlahir dengan cukup, dengan memiliki orangtua, saudara, dan teman yang selalu ada. Saya merasa bahagia dan cukup dengan semua itu. Saya pun kemudian mendapat jawaban akan pesan apa yang Tuhan minta saya sampaikan melalui kemampuan saya; ‘bahagia itu sederhana’.

Bahagia itu sederhana.

Sesederhana bermain gundu saat istirahat yang mampu membuat seorang anak di tahun 90-an bahagia, kebahagiaan muncul saat kita merasa cukup. Pesan akan kebahagiaan ini lantas selalu saya selipkan dalam konten digital, buku, dan semua karya saya, baik Generasi 90-an, maupun NKCTHI (Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini). Masih banyak sebenarnya pelajaran yang saya peroleh dari orangtua dan kehidupan masa kecil saya. Apapun itu pada mulanya, merekalah yang membentuk saya hingga saya dapat berdiri saat ini. Saya jadi ingat kembali apa yang pernah Ayah saya katakan berulang kali; apa yang dilakukan dengan hati, pasti akan sampai ke hati lainnya. Apapun yang kita lakukan, lakukan dengan sepenuh hati karena orang akan tahu bila kita melakukannya secara tidak tulus. Dan bila kita mengerjakan secara bersungguh-sunggguh, hasil yang akan didapat pun pasti akan dirasa oleh orang lain, termasuk ke diri kita sendiri.

Apa yang dilakukan dengan hati, pasti akan sampai ke hati lainnya.

Mengingat masa kecil, masih banyak sekali pelajaran lainnya yang saya peroleh dari orangtua saya. Mengumpulkannya, seperti menyatukan puzzle kenangan dalam kerangka lukisan besar – banyak dan indah. Harapan saya, semoga, 'gelas' saya yang sudah terisi cukup penuh ini, dapat selalu dibagikan ke orang lain tanpa henti, lalu membentuk rantai lanjutan untuk semakin banyak orang lagi yang merasa, bahwa kebahagiaan itu, ternyata sesederhana itu, ya!

Related Articles

Card image
Self
Rayakan Keberagaman dalam Kecantikan

Keberagaman jadi satu kata kunci yang tidak akan pernah lepas saat membahas tentang Indonesia. Mulai dari keragaman budaya, bahasa, hingga kecantikan perempuan di negeri ini adalah salah satu kekayaan yang sudah sepatutnya kita rayakan.

By Greatmind x BeautyFest Asia 2024
27 April 2024
Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024