Self Lifehacks

Pencarian Diri

Marshanda

@marshanda99

Aktris

Fotografi Oleh: Morris Poluan

Sejak kita lahir sampai masa kanak-kanak sebenarnya kita kenal sekali dengan diri sendiri. Lekat sekali dengan jiwa yang sebenarnya ada dalam diri. Kita tahu siapa kita di dunia ini. Namun seiring berjalannya waktu -bagaikan papan tulis penuh goresan, kita mulai pelan-pelan menghapus goresan dan tulisan itu. Digantikan dengan dogma, doktrin dan kepercayaan yang diterima dari sekitar. Dari pola asuh orang tua, pengaruh pergaulan hingga stereotip masyarakat dalam menjalankan hidup. Seakan kita harus mengalami perjalanan yang sama dengan semua orang. Sayangnya, lama kelamaan kita jadi mengabaikan jiwa kita yang sebenarnya. 

Sejak kita lahir sampai masa kanak-kanak sebenarnya kita kenal sekali dengan diri sendiri. Lekat sekali dengan jiwa yang sebenarnya ada dalam diri. Kita tahu siapa kita di dunia ini.

Orang tuaku sudah bercerai sedari aku berumur delapan tahun dan hubungan mereka tidak baik. Aku mengalami keluarga yang disfungsi dan secara tidak sadar menumbuhkan luka yang sering aku abaikan. Sampai aku berumur 18 tahun dan memutuskan untuk mencoba konseling ke psikolog. Dari situ aku baru sadar bahwa masalahku dengan orang tua belumlah selesai. Mungkin kami tidak pernah bertengkar tapi sebenarnya juga tidak baik-baik saja. Betapa tidak, tanpa disadari aku sering sekali menerapkan apa yang mereka perbuat terhadap satu sama lain di dalam hubungan. Setiap kali punya pasangan aku sering mencontoh orang tuaku dan menerapkannya pada dia. Rasanya sulit sekali melihat pasanganku apa adanya karena aku punya ekspektasi terhadap dia. Lalu berpikir kalau dia tidak memenuhi kapasitas tersebut berarti dia jahat. Padahal semua orang punya pemikiran dan intensi yang berbeda-beda. Dari kesadaran ini aku mulai berupaya untuk menyembuhkan luka-luka yang masih ada dan mengikis kepercayaan-kepercayaan tentang hubungan. Tentang bagaimana pria harus memperlakukan wanita dan sebaliknya. Agar aku bisa melihat pasanganku apa adanya bukan proyeksiku terhadap dia yang aku serap dari kedua orang tua.

Selama proses penyembuhan luka ini juga sebenarnya aku sedang berada dalam perjalanan soul searching atau pencarian diri. Setelah konseling dengan psikolog aku pun mulai mengikuti praktik-praktik lainnya demi menyembuhkan luka-luka dari masa kecil itu. Aku menemukan bahwa ternyata prosesnya butuh waktu seumur hidup. Sebab setiap harinya mungkin saja kita menemukan pengalaman-pengalaman yang memberikan luka baru. Meski proses yang tidak sebentar, tidak mudah dan butuh berbagai macam cara, dalam prosesnya aku merasakan keseruan yang membuatku memahami banyak hal. Bahwa kita adalah pribadi yang unik dengan cara kita sendiri, berbeda dengan orang lain. Tidak lebih baik, tidak kurang dari orang lain. Memahami seperti apa kedamaian yang aku butuhkan, bagaimana cara mengasah kreativitas dalam diri. Sehingga aku bisa menyimpulkan bahwa soul searching adalah sebuah perjalanan yang perlu dilakukan untuk tahu pada akhirnya bahwa sebenarnya kita tidak perlu mencarinya karena sebenarnya sudah ada di dalam diri kita sendiri. Akan tetapi perjalanannya amat dibutuhkan karena jawaban-jawaban yang kita cari ada di sana. 

Kita adalah pribadi yang unik dengan cara kita sendiri, berbeda dengan orang lain. Tidak lebih baik, tidak kurang dari orang lain.

Perjalanannya pun tiada akhir dan setiap orang pasti melewati jalur yang berbeda-beda. Sebab kebutuhan, prioritas dan keinginan setiap orang berbeda-beda. Jangankan dengan orang lain. Aku yang lima tahun lalu dengan aku yang sekarang sudah pasti beda. Jadi “alat” yang harus digunakan dalam pencarian ini adalah bertumbuh. Caca yang berumur 30 tahun dan yang 15 tahun mungkin jiwanya sama. Tapi punya pilihan, kecenderungan sifat, dan karakteristik yang lain. Mungkin ada orang yang merasa sudah baik-baiks aja dengan cara mereka menjalani hidup. Tanpa harus melakukan soul searching. Karena aku akui untuk melakukannya butuh melewati proses yang jauh dari kata nyaman. Bahkan sampai mengharuskan kita untuk tidak selalu menuruti apa yang dituntut atau didorong orang sekitar atau masyarakat. Butuh keberanian besar sebab sudah pasti akan memunculkan penolakan dari orang lain. Entah lingkungan kerja, teman-teman bahkan orang tua. Dan menerima ini tentu tidak mudah. 

Aku sendiri pernah mengalaminya ketika memutuskan lepas jilbab. Sebelumnya aku minta maaf jika pengakuanku ini menyinggung orang lain. Aku menceritakan ini tanpa maksud apapun. Tidak mendorong orang lain untuk melakukan apa yang aku lakukan. Hanya ingin membagikan pengalamanku jujur pada diri sendiri. Ketika itu aku sedang menjalani perjalanan spiritual yang aku percaya harus tetap aku jalani sampai akhir hayat. Dari kecil aku merasa cukup dekat dengan agama dan keputusan memakai jilbab bukanlah tuntutan siapa-siapa. Murni keinginanku sendiri dan aku melakukannya dengan cinta. Sampai suatu kali aku menyadari kalau aku terus berhijab sepertinya ini bukan diriku sendiri. Waktu itu aku baru saja tanda tangan kontrak dengan satu brand yang ingin menjadikanku brand ambassador mereka karena aku berhijab. Lalu seperti ada suara yang bilang, “Masa aku pakai jilbab terus karena demi bisnis?”. Lambat laun pun aku semakin merasa seperti membohongi diri sendiri kalau terus berhijab. Sedangkan prinsip hidupku adalah untuk bertumbuh dan menjadi pribadi yang otentik. Aku ingin terus menunjukkan diriku yang sebenarnya. Meskipun akhirnya akan banyak yang menghujat atau menghakimi kalau tidak lagi pakai. Lebih baik begitu daripada aku dikagumi atau dipuji tapi aku tidak menunjukkan diriku yang sebenarnya. Not showing my true skin.

Aku percaya misiku dalam hidup adalah untuk jadi real life study case. Kebetulan Allah sedari kecil menuntunku untuk menjadi figur publik. Banyak orang yang melihat pertumbuhanku dari kecil. Seakan aku menjadi studi kasus yang benar hidup di tengah masyarakat. Sehingga aku ingin ketika nanti meninggal, aku diingat sebagai seseorang yang cukup berani untuk memperlihatkan keaslian diriku. Seseorang yang tidak takut untuk mencintai orang lain dengan caranya sendiri. Menanamkan misi ini dalam diriku membuatku tidak lagi bisa berbohong dan tetap pakai jilbab untuk kepentingan bisnis. Aku juga tidak tahu apakah 10 tahun lagi aku akan berhijab lagi atau tidak. Tapi nanti kalau aku punya dorongan ke arah apapun, itu berasal dari kejujuran diri. Ketika aku terus melakukan tindakan-tindakan yang mungkin kontras dengan dogma yang ada di masyarakat tapi tetap sejalan dengan misi hidupku, rasanya justru seperti membebaskanku dari belenggu. Untuk menunjukkan sebenernya Aku tuh begini lho!

Aku ingin ketika nanti meninggal, aku diingat sebagai seseorang yang cukup berani untuk memperlihatkan keaslian diriku. Seseorang yang tidak takut untuk mencintai orang lain dengan caranya sendiri.

Berkata begini, aku tidak berusaha atau berharap orang lain mengikuti caraku. Tapi paling tidak mereka tahu apa yang aku lakukan ini bisa menjadi alternatif untuk mereka menjalani hidup. Yang tadinya mungkin tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Aku juga tidak bilang bahwa semua orang harus langsung mengalami soul searching. Semua tergantung prioritas dan kebutuhan mereka. Seperti yang dijelaskan oleh psikolog Abraham Maslow tentang konsep Hierarchy of Needs. Tingkat kebutuhan manusia paling dasar adalah tentang kebutuhan primer yaitu makanan, pakaian, hasrat seksual dan tempat berlindung. Diikuti dengan tingkat kedua yaitu kebutuhan keamanan yang meliputi pekerjaan, kesehatan, dan sebagainya. Semakin tinggi tingkatannya kebutuhannya semakin jauh dari segi materi. Seperti di tingkatan ketiga adalah tentang pertemanan, keluarga, hubungan dan tingkat keempat tentang status sosial, kebebasan, penghargaan diri, dan rekognisi. Sedangkan tingkatan yang paling atas adalah kebutuhan aktualisasi diri yaitu tentang mencapai potensi yang ada dalam diri. 

Jadi misal seseorang sedang berjuang untuk mencapai lapisan hirarki kedua untuk mengalami soul searching akan sulit. Prioritasnya masih seputar memenuhi kebutuhan sehari-hari biar hidup nyaman dan aman. Sehingga untuk menemukan jati diri tergantung kebutuhan orang masing-masing sedang berada di tingkat mana. Kalau tingkat satu sampai empat sudah terpenuhi dan sampai pada tingkat aktualisasi diri yang akan kita pikirkan adalah apa tujuan kita di dunia dan bagaimana kita bisa berkontribusi di dalamnya. Di sanalah kita akan mencari cara untuk mencari jati diri agar bisa menciptakan diri yang otentik dan bisa berkontribusi dengan segala potensi diri. Selama proses itu kita pun harus bisa terus mendengarkan suara hati. Berteman dekat dengan suara hati yang menciptakan higher self. Dan higher self itu seperti tanaman. Semakin kita siram tiap hari ia akan tumbuh mekar hingga jadi cantik. Kalau tidak dirawat, tidak diajak ngobrol, tidak punya keintiman khusus, kita semakin sulit mendengar suaranya. Semakin sering ajak berkomunikasi dengan menulis atau meditasi misalnya, akarnya akan semakin kuat, semakin besar. Makin kuat untuk jadi pegangan. 

Untuk menemukan jati diri tergantung kebutuhan orang masing-masing sedang berada di tingkat mana.

Tapi jangan salah. Mendengarkan diri sendiri bukan berarti kita justru menjadi pribadi yang egois. Tahap bertumbuh seseorang itu melewati empat proses: self-lack, selfish, self-love, dan selfless. Ketika masih berada dalam tahap self-lack, kita biasa hidup hanya untuk diterima. Lalu saat sudah mulai menyadari untuk tidak selalu menjadi people pleaser akhirnya kita akan naik ke tahap selfish. Kecenderungan mementingkan diri sendiri. Lalu kalau di tahap selfish kuotanya sudah terpenuhi barulah masuk ke tahap self-love di mana kita bisa memberikan cinta pada diri sendiri. Di saat yang sama kita baru bisa memberikan cinta yang tulus, ikhlas untuk orang lain. Ketika masih di tahap self-lack dan selfish kita menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain. Entah pasangan atau orang tua. Sehingga rasa cinta yang kita berikan kepada mereka seperti harus dibalas dengan cara yang sesuai seperti yang diinginkan. Tapi jika sudah di tahap self-love kita tidak bergantung pada orang lain untuk membuat kita merasa cukup dicintai. Cinta yang mereka berikan menjadi sebuah kemewahan. Bukan lagi kebutuhan tapi bonus. Sedangkan kalau sudah masuk tahap selfless semua sudah bukan tentang diri sendiri lagi. It is about the world, the environment, about collective consciousness, helping other people to love themselves. Berkontribusi untuk memberikan dampak pada dunia.

Jika sudah di tahap self-love kita tidak bergantung pada orang lain untuk membuat kita merasa cukup dicintai. Cinta yang mereka berikan menjadi sebuah kemewahan. Bukan lagi kebutuhan tapi bonus.

Proses kita berada sampai tahap selfless pun berkaitan erat dengan suara hati yang dimiliki. Semakin kencang suara hati, semakin bertumbuh besar higher self kita. Sebab saat sudah bisa mendengarkan diri sendiri dan merasa cukup dengan diri, kita akhirnya mencapai titik berbagi cinta pada orang lain. Ini yang aku rasakan. Aku merasa hubunganku dengan the higher self sangatlah dekat dari dulu. She is my biggest supporter. Dia  sudah lebih dari cukup untuk aku dengarkan. Meski kini aku merasa masih ada beberapa hal yang masih harus disembuhkan dan masih butuh proses, tapi sudah banyak juga yang sudah aku selesaikan . Sehingga sekarang aku bisa bilang bahwa aku sangat merasa content dengan diriku sendiri, sudah bisa menerima diriku sendiri karena kerja keras soul searching yang sudah dijalani. Sampai rasanya meluap sekali keinginan untuk membagikan cinta yang aku punya untuk orang lain. Walau di saat yang sama aku masih terus belajar.

 

 

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024