Self Art & Culture

Peron House: Sebuah Usaha Menemukan Kembali Makna Proses

Di tengah segala kemudahan yang disediakan oleh fasilitas dan teknologi paling mutakhir saat ini, terkadang membuat kita lupa bahwa proses adalah hal yang membuat sebuah keberhasilan menjadi lebih berharga. Hal yang sama juga berlaku dalam dunia seni dan sastra. Kali ini, Greatmind berbincang bersama Leila S.Chudori dan Rain Chudori, dua orang penggagas dibalik hadirnya Peron House. Sebuah rumah penerbitan yang berusaha mengembalikan makna proses dalam berkarya.

Greatmind (GM): Halo, Mbak Rain dan Mbak Leila. Sebelum ngobrol lebih lanjut tentang Peron House, mungkin boleh cerita sedikit apa saja project yang sedang dikerjakan sekarang?

Leila S. Chudori: Wah, ada banyak sekali sebenarnya. Kalau yang sekarang di depan mata, saya sedang menyelesaikan jilid 2 novel “Namaku Alam”. Sekarang sedang saya garap perlahan-lahan. Biasanya satu buku saya tulis selama 4 atau 5 tahun, tapi yang satu ini tidak bisa selama itu karena benar-benar lanjutan dari buku pertama. Pokoknya sedang saya kerjakan untuk segera terbit.

Rain Chudori: Kalau aku saat ini memang fokus di Peron House. Semestinya kami launching di bulan Desember, tapi beruntung sekali kemarin kami bisa berkolaborasi dengan Ubud Writers Festival. Bersyukur sekali rilisan “Porter Pamphlet” volume pertama kemarin sudah terjual habis selama launching. Saat ini kami sedang menyiapkan pre-order berikutnya untuk audiens yang lebih besar.

GM: Kalau begitu, boleh dijelaskan lebih lanjut tentang Peron House? Mohon dikoreksi kalau salah, apakah konsep Peron House sendiri sebenarnya sudah ada sejak 1925?

Leila S. Chudori: Kalau Peron House itu memang baru lahir di akhir tahun ini. Tahun 1925 adalah tentang cita-cita ayah saya yang dulu sebetulnya juga menerbitkan buku. Itu lebih kepada penekanan pentingnya kata dalam menyampaikan suatu hal secara artistik sejak dulu. Jadi core idea yang sudah ada sejak lama ini kemudian baru benar-benar diwujudkan dengan Peron House melalui beberapa hal. Langkah pertamanya adalah melalui “Porter Pamphlet” edisi pertama yang kemarin sudah dirilis.

Rain Chudori: Kalau tentang praktik literasi sendiri, keluarga kami memang sudah sejak lama berkecimpung dibidang literasi, penerbitan, dan berbagai bentuk seni lainnya. Sejak tahun 1950-an, kakek saya memang sudah menjadi koresponden untuk beberapa media berita besar. Jadi gagasan akan literasi sudah dibentuk dari rumah. Rumah kakek sering kali didatangi oleh penulis, seniman, politisi, dan para pemikir. Maka, ibu dan juga aku secara informal terbiasa menjadi bagian dari proses kreatif dan literasi sedari kecil.

Berkaca dari pengalaman tersebut, ternyata ini bukan hal yang biasa didapatkan oleh banyak orang. Ruang untuk saling berbincang dan bertukar gagasan di rumah ternyata bukan hal yang lumrah, terutama di zaman sekarang. Hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari ketersediaan ruang di rumah, inflasi, dan sebagainya. Sehingga proses bercakap dan bertukar ide biasanya terjadi di kedai kopi, ruang komunitas, atau juga coworking space. Melalui Peron House, kami ingin mencoba mencari titik seimbang antara akses informasi dan kebebasan berekspresi dengan kepentingan finansial sebagai sebuah publishing. Tentu dengan tetap memegang filosofi yang intimate dan grounded berbasis komunitas.

Ruang untuk saling berbincang dan bertukar gagasan di rumah ternyata bukan hal yang lumrah, terutama di zaman sekarang. Hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari ketersediaan ruang di rumah, inflasi, dan sebagainya.

Jadi, Peron House merupakan cara kami untuk tetap melestarikan budaya, menyebarluaskannya ke publik yang lebih luas, dan menyediakan ruang diskusi yang layak bagi komunitas. Tujuan kami memulai Peron House adalah untuk mengembalikan peran publishing tidak hanya sebagai sebuah unit bisnis tetapi juga membantu kita untuk kembali memahami dan belajar tentang budaya Indonesia sekaligus menjaganya agar tetap lestari ke generasi-generasi berikutnya.

Tujuan kami memulai Peron House adalah untuk mengembalikan peran publishing tidak hanya sebagai sebuah unit bisnis tetapi juga membantu kita untuk kembali memahami dan belajar tentang budaya Indonesia sekaligus menjaganya agar tetap lestari ke generasi-generasi berikutnya.

GM: Sejauh ini bagaimana cara Peron House dalam memilih seniman ataupun penulis yang terlibat dalam berbagai project yang akan dikerjakan?

Leila S. Chudori: Tentu ada beberapa elemen yang kami pertimbangkan. Salah satunya adalah menemukan dan memberikan kesempatan bagi para penulis pemula, dalam artian orang-orang yang sudah mulai menulis tapi belum memiliki kesempatan untuk diterbitkan. Secara porsi mungkin 50:50, sebagian adalah para penulis yang memang sudah dikenal dan sebagian lainnya nama-nama yang sangat baru.

Di “Porter Pamphlet” edisi pertama kemarin kuratornya adalah Raka Ibrahim, dia sebelumnya juga bekerja sama dengan Rain di Comma Books dan pernah menulis buku kumpulan cerpen. Kami betul-betul mencoba agar dapat berkolaborasi dan memberikan peluang pada lebih banyak penulis berbakat. Selain kompetensi, poin penting lainnya adalah keselarasan dengan tema yang diangkat. Kami ambil contoh dari “Porter Pamphlet” yang dirilis kemarin yang mengangkat tema coming of age, ada nama Joko Anwar yang dengan naskah film dan Dian Sastrowardoyo dengan cerpen yang ia tulis, dan juga ada Kiki Nasution, Ibe Palogai, Rassi Narika, dan Ghina Furqan. Kami tidak hanya ingin fokus pada nama besar tetapi juga memberikan kesempatan bagi orang-orang yang berbakat dan bersedia untuk terus merawat kemampuannya, untuk terus menulis dengan baik.

Rain Chudori: Secara personal aku merasa banyak sekali belajar dari mentor yang aku kenal di luar sekolah atau kampus. Ada juga mentor seperti guru bahasa di zaman SMA atau dosen saat kuliah, tapi mentor dalam hal menulis justru lebih banyak aku temui di luar institusi pendidikan resmi. Interaksi yang terjadi biasanya lebih kasual dan santai. Kedekatan seperti ini bukan hanya terus menerus membicarakan soal pekerjaan dan kreativitas tetapi juga interaksi sebagai teman.

Kami juga senang bekerja sama dengan orang-orang yang tidak hanya kompeten tetapi juga disiplin dan konsisten terhadap apa yang sedang dikerjakan. Baik itu menulis, melukis, bermusik, atau penerbit, ada banyak tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya sebuah karya bisa sampai ke publik. Tentu waktu yang dibutuhkan juga tidak sebentar. Berkaca dengan situasi saat ini, sepertinya banyak orang yang terburu-buru untuk mencapai tujuan. Aku sejujurnya tidak terlalu sepakat dengan budaya ini. Hal ini membuat banyak seniman menjadi tidak sabar, ditambah tekanan industri yang ada. Maka, kami benar-benar memilih orang yang memang senang berkarya pelan-pelan dan menikmati proses membuat karyanya menjadi lebih baik.

GM: Apakah budaya buru-buru ini juga berhubungan dengan kata industri yang saat ini sering digunakan?

Rain Chudori: Ya mungkin memang ada hubunganya dengan hypercapitalism, itu kenapa semua orang terburu-buru. Maka, kami sebisa mungkin ingin mengutamakan value dalam proses publishing. Pelan-pelan dievaluasi setiap prosesnya. Sebenarnya sama saja dengan industri lainnya, misal industri teknologi, ada banyak bugs yang harus mereka cek di setiap jangka waktu tertentu. Industri teknologi dengan sumber daya yang jauh lebih banyak saja masih ada kesalahan yang terjadi apalagi kami yang sumber dayanya lebih sedikit. Itu kenapa kita ingin berupaya untuk saling menjaga ruang untuk berproses dan tidak terburu-buru. Good things take time.

Leila S. Chudori: Saya tambahkan sedikit perspektif lain, ya. Bisa dibilang industri memang menuntut demikian. Saya bisa saja salah, tapi impresi yang saya dapat, terutama setelah merilis novel “Laut Becerita”, saya sering sekali datang ke sekolah atau kampus untuk bertemu dengan anak-anak muda, kesan yang saya dapatkan adalah sepertinya generasi sekarang ingin mendapatkan hasil dengan proses yang lebih cepat.

Berharap dengan ikut satu kali kelas menulis, langsung bisa menulis novel yang luar biasa. Ingin cepat dalam artian, tidak sabar untuk menghadapi proses seleksi dan revisi yang ada saat ingin menerbitkan tulisan mereka. Padahal, sebaiknya lebih sabar sedikit. Mulai saja dulu dari menulis cerita pendek. Kalau bisa dikirim ke media internal saja sudah bagus, syukur-syukur bisa dimuat di media mainstream, tentu akan lebih baik lagi. Dari proses pengiriman naskah ke media itu, secara tidak langsung mereka bisa belajar untuk menulis dengan lebih baik. Mampu mengenali struktur tulisan yang lebih tepat. Jadi, sabar dulu, jangan langsung puas dengan tulisan draft pertamamu. Saya pun saat menulis melalui proses yang panjang, bahkan bisa tahunan. Untuk prolog novel “Laut Bercerita” saja saya revisi sampai 22 kali. Ini memang agak ekstrem, tapi pesannya sama, sabar.

GM: Saat memberikan ruang bagi para penulis untuk berbincang dan berbagi ide kreatif. Sejauh mana Peron House memberikan kebebasan kepada para seniman dan penulis?

Leila S. Chudori: Untuk konten biasanya kami akan mulai dari menentukan tema yang akan dibahas. Ini biasanya kami didiskusikan bersama dari redaksi. Setelah tema terpilih, baru kami akan mencari kreator yang sejalan dengan tema. Setelah penulis mengirimkan karyanya baru mulai masuk ke tahap editing. Dengan pengalaman yang saya miliki selama 28 tahun di Tempo, unsur-unsur yang saya gunakan dalam hal-hal teknis penulisan dan penyuntingan berasal dari apa yang saya pelajari selama bekerja. Misalnya, tidak boleh SARA, harus tetap saling menghargai perbedaan ras, agama, etnik, dan kultur yang ada. Ini ideologi besarnya.

Kemudian dari sisi bahasa, karena “Porter Pamphlet” volume pertama diterbitkan dalam dua bahasa yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, maka setiap karya yang ada melalui proses editing dalam dua bahasa yang berbeda. Saya banyak mengambil peran editor dalam hal-hal teknis seperti struktur kalimat serta kaidah penulisan Bahasa Indonesia. Setelahnya akan ada editor lain yang akan melakukan proofreading, untuk memastikan tidak ada kesalahan yang terlewat. Proses yang sama juga terjadi saat melakukan editing dalam Bahasa Inggris. Maka, setiap karya yang akhirnya terbit butuh proses yang tidak sebentar, selama proses penyuntingan kami juga terus berdiskusi dengan penulis. Kami tetap memberikan kebebasan bagi para penulis untuk menyampaikan cerita yang mereka miliki namun tetap dengan kaidah penulisan dan bahasa yang tepat.

Rain Chudori: Menurut aku penting untuk memberikan ruang interaksi antara para penulis pemula dan penulis yang sudah established karena ini secara tidak langsung memberikan akses mentorship. Unofficial mentorship. Mungkin sistem mentor memang sudah ada di dunia literasi tapi tidak selalu mudah diakses. Jadi, dengan membuat lingkungan yang lebih organik untuk berinteraksi, mereka bisa saling berbincang dan bertukar pikiran tentang karir maupun ide-ide kreatif. Ini juga menjadi alasan pemilihan nama Peron House. Kata house menunjukkan bahwa akar kami adalah rumah dan peron yang memberikan nuansa dari perjalanan. Nama ini juga ibu yang pilih.

Leila S. Chudori: Mungkin saya tambahkan sedikit. Perjalanan itu melambangkan kreativitas yang tidak pernah berhenti. Jadi, bukan hanya perjalanan dalam arti berpindah secara fisik tapi juga perjalanan hidup yang dialami.

GM: Cukup sering bersinggungan dan bekerja sama dengan penulis pemula. Salah satu aspek yang biasa ditemui adalah ego penulis yang masih tinggi, terutama saat menghadapi kritik tidak berdasar di internet. Bagaimana cara untuk menyikapi hal semacam ini?

Leila S. Chudori: Pertama kamu harus ingat bahwa semua penulis di dunia, bahkan yang pernah memenangkan Nobel atau Booker Prize, tidak lantas semua buku yang dia tulis adalah mahakarya. Kalau sastrawan besar, biasanya mereka hanya menulis belasan atau puluhan buku sepanjang hidupnya, mungkin hanya satu atau dua buku yang bisa dikatakan sebagai masterpiece. Saya kasih contoh seorang nama besar, Orhan Pamuk, menurut saya masterpiece dia adalah buku “My Name Is Read.” Ini bagi saya, bagi Rain mungkin berbeda.

Rain S. Chudori: Museum of Innocence!

Leila S. Chudori: Nah, kita saja sudah berbeda. Dari semua buku yang ditulis oleh Orhan Pamuk, tidak semuanya meledak di pasaran. Bagi saya, buku terbaiknya tetap My Name Is Red. Mungkin bagi yang suka cerita cinta, “Museum of Innocence” itu cerita cinta yang berkesan. Jadi tidak semua karya kita adalah masterpiece.

Kedua, kalau ada orang yang mengkritik dengan tujuan untuk menjatuhkan, ingat saja bahwa keberadaan mereka tidak valid dalam proses kreatif kita. Ketika kita menulis, kritik itu belum ada, komentar pedas di internet itu belum ada. Saat menulis, kita bekerja sendiri. Tentu didukung dengan support system seperti editor, atau bagi saya Rain dan orang-orang di rumah.

Ketiga, pahami bahwa semua orang bebas beropini. Ini hal biasa, di dunia sastra juga demikian. Semakin banyak yang membaca karya kita, akan ada lebih banyak kritik yang kita dapatkan. Tapi seiring dengan bertambahnya usia saya juga lebih bijak dalam memilih mana kritik yang penting untuk didengar. Kalau hanya kritik tidak berdasar di media sosial, ini harus belajar untuk kita abaikan. Belajarlah memilah kritik yang membangun untuk proses kita menulis.

Belajarlah memilah kritik yang membangun untuk proses kita menulis.

Rain S. Chudori: Memang harus belajar untuk dipilah. Ada juga kritik membangun yang tentu valid untuk didengar. Aku dan teman-teman di tim juga selalu terbuka untuk memberikan pandangan berbeda. Tentu disampaikan dengan cara yang baik.

Jadi, kalau dipikir kembali siapa kritikus pertama saat karya kita rampung di tulis, itu adalah editor. Penulis juga harus bisa mempertanggungjawabkan pilihan kreatif yang dia ambil, terkait dengan penokohan atau juga alur cerita. Sedih itu wajar. Terlebih saat karya kita mendapat kritik yang mungkin cukup pedas dari orang lain. Tapi jangan berlarut-larut. Karena kritik yang membangun juga bertujuan agar hasil akhir dari sebuah karya bisa jadi lebih baik dari sebelumnya.

Sedih itu wajar. Terlebih saat karya kita mendapat kritik yang mungkin cukup pedas dari orang lain. Tapi jangan berlarut-larut.

GM: Kalau begitu, ini mungkin akan jadi pertanyaan terakhir. Tidak harus luar biasa, tapi dengan hadirnya Peron House saat ini, apa dampak yang diharapkan hadir dari Peron House terhadap dunia buku dan kepenulisan?

Rain Chudori: Aku memulai ini dengan tujuan agar bisa membuat publishing house yang slow, simple, dan accessible ditengah industri penerbitan saat ini. Meski begitu, kami tetap berteman dan menjalin relasi yang baik dengan penerbitan besar dan juga penerbitan independent. Harapannya kami bisa menghadirkan publishing house yang benar-benar terasa seperti rumah, tidak terburu-buru, sederhana, dan mudah diakses oleh banyak orang.

Leila S. Chudori: Setuju sekali, saya sudah menerbitkan tulisan saya sejak umur belasan. Saya memang penulis yang perlu waktu lama dalam menghasilkan sebuah buku. Jadi saya selalu salut pada teman-teman penulis yang sanggup menulis satu atau dua buku dalam satu tahun. Cepat bukan berarti tidak baik ya, boleh saja kalau memang sanggup, tapi jangan sampai terpaksa.

Rain Chudori: Tambahan sedikit, saat ini kami sedang mempersiapkan pre-order kedua untuk Porter Pamphlet volume pertama. Juga persiapan untuk volume kedua. Setelah semua persiapannya rampung info selengkapnya akan kami bagikan melalui media sosial kepada teman-teman. Dalam waktu dekat ini, tepatnya di tanggal 17 Januari 2024, kami akan membuka pre-order untuk Porter 01 di Tokopedia. Sebuah majalah tentang perjalanan dan budaya yang dikurasi secara khusus untuk teman-teman insan kreatif. 

 

Related Articles

Card image
Self
Usaha Menciptakan Ruang Dengar Tanpa Batas

Aku terlahir dalam kondisi daun telinga kanan yang tidak sempurna. Semenjak aku tahu bahwa kelainan itu dinamai Microtia, aku tergerak untuk memberi penghiburan untuk orang-orang yang punya kasus lebih berat daripada aku, yaitu komunitas tuli. Hal ini aku lakukan berbarengan dengan niatku untuk membuat proyek sosial belalui bernyanyi di tahun ini.

By Idgitaf
19 May 2024
Card image
Self
Perjalanan Pendewasaan Melalui Musik

Menjalani pekerjaan yang berawal dari hobi memang bisa saja menantang. Menurutku, musik adalah salah satu medium yang mengajarkanku untuk menjadi lebih dewasa. Terutama, dari kompetisi aku belajar untuk mencari jalan keluar baru saat menemukan tantangan dalam hidup. Kecewa mungkin saja kita temui, tetapi selalu ada opsi jalan keluar kalau kita benar-benar berusaha berpikir dengan lebih jernih.

By Atya Faudina
11 May 2024
Card image
Self
Melihat Dunia Seni dari Lensa Kamera

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya fotografi menjadi salah satu jalan karir saya hingga hari ini. Di tahun 1997 saya pernah bekerja di majalah Foto Media, sayang sekali sekarang majalah tersebut sudah berhenti terbit. Setelahnya saya juga masih bekerja di bidang fotografi, termasuk bekerja sebagai tukang cuci cetak foto hitam putih. Sampai akhirnya mulai motret sendiri sampai sekarang.

By Davy Linggar
04 May 2024