Self Lifehacks

Talenta di Batas Minat

Nurul Idzni

@nurulidzni__

Penulis & Pengusaha Kreatif

Illustrasi Oleh: Mutualist Creatives

Ayah bekerja di kantor. Ibu memasak di dapur.

Familiar dengan kalimat di atas? Sewaktu SD, saya ingat beberapa kali menemukan pernyataan tersebut dalam sejumlah buku teks. Mulai dari buku Bahasa Indonesia, Pengetahuan Sosial, hingga Kewarganegaraan, setidaknya ada bab yang kurang lebih memberi penjelasan akan pembagian peran dan pekerjaan yang secara umum dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Memang, tidak ada keterangan yang menyatakan memasak di dapur adalah kewajiban ibu, atau bekerja di kantor adalah kewajiban ayah. Namun, karena intensitasnya yang berulang ditemui, entah mengapa dalam benak saya yang masih kecil, pernah tertanam anggapan bahwa memang demikian seharusnya pembagian tugas yang ideal – sementara orangtua saya tidak.

Ayah saya memang bekerja di kantor. Ibu pun juga. Tapi, saya tidak pernah melihat ibu memasak di dapur. Justru sebaliknya, ayah lah sosok yang menjadi raja di dapur dengan keterampilannya mengolah bahan mentah menjadi masakan yang menjadi kegemaran putri-putrinya. Pernah dalam suatu kesempatan saya bertanya pada ibu mengapa ia tidak memasak. Saya tahu ia bisa. Dan saya tahu ia pernah melakukannya dulu sekali jauh sebelum saya lahir. Jawabannya? Selain tidak sempat lagi karena bekerja dan mengurus anak-anak, ia tidak menaruh minat pada kegiatan masak memasak. Jadi, mengapa ia harus memaksakan diri melakukannya sementara ia bisa mengalokasikan waktu yang seharusnya digunakan untuk memasak, untuk hal lainnya yang lebih diminati dan tidak kalah pentingnya? Dengan tidak mengalokasikan waktu untuk memasak, dalam kesehariannya ibu saya sanggup membagi waktunya untuk bekerja, mengajari keempat anaknya pelajaran sekolah apapun itu, memeriksakan PR-nya, menata rumah, merencanakan rute liburan, mengatur bermacam-macam anggaran, serta setumpuk pekerjaan lainnya yang membutuhkan konsentrasi pikiran dan tenaga luar biasanya. Lagipula, ada ayah yang memang menyukai dunia kuliner yang dapat menggantikan perannya mengurus dapur, serta asisten rumah tangga yang dapat memasak tiap harinya.

Bila saya perhatikan, nenek dari pihak ibu pun tidak memasak. Sebaliknya, kakek lah yang bisa. Oleh karena itu, sama sekali tidak aneh bukan bila pada akhirnya saya pun memiliki kecenderungan mengikuti ‘jejak mereka’ untuk jauh dari dapur? Sewaktu kecil, saya merasa tidak pernah mendapat masalah dengan hal ini. Tapi begitu saya menginjakan kaki di bangku SMA, apalagi saat mulai memiliki teman dekat laki-laki, mulailah saya menyadari bahwa sepertinya ada yang salah di mata orang bila tahu saya tidak minat masak. Berulang kali saya menerima komentar “lalu kalau sudah menikah, suami dan anak kamu nanti makan apa dong?”

Tidak minat bukan berarti tidak bisa. Berbicara mengenai kemampuan, karena kebutuhan untuk mandiri, sekedar membuat masakan sederhana untuk diri sendiri saja, saya tidak ada masalah. Namun, bila dicari perumpamaannya, hal ini lebih seperti seorang laki-laki yang bisa menyetir namun seringkali memilih tidak melakukannya karena tidak minat untuk menembus kemacetan lalu lintas, mencari tempat parkir, atau atas pertimbangan efisiensi waktu memilih untuk mengerjakan hal lainnya selama berkendara daripada menyetir sendiri.

Kadangkala, manusia dihadapkan pada pilihan yang menuntut mereka untuk memenuhi suatu gambaran yang dianggap ideal oleh masyarakat. Namun, kembali lagi karena itu adalah suatu pilihan, memutuskan untuk tidak mengikutinya pun sebenarnya sah-sah saja. Manusia juga bisa berubah. Bisa saja sekian tahun lagi saya tiba-tiba jatuh cinta dengan kegiatan masak memasak. Siapa tahu? Saya sendiri pun penasaran apakah saya bisa berubah 180 derajat. Namun, bukan soal masak sebenarnya yang saya maksud di sini.

Di masa kini yang semakin kompleks dan menuntut kita memiliki beragam kemampuan lintas usia, gender, dan bidang pekerjaan, memiliki banyak talenta memang memberi banyak keuntungan karena memungkinkan kita memiliki fleksibilitas beradaptasi di mana saja. Bila dimungkinkan melakukan segala hal dari A sampai Z sendiri, silahkan saja melakukannya. Stereotip akan suatu talenta, kemampuan, dan bidang pekerjaan memang tidak dapat dihindarkan. Dan sekarang tampaknya bukan masanya lagi untuk memandang suatu kegiatan hanya dapat dilakukan satu gender atau kelompok tertentu saja. Pekerjaan rumah tangga memang identik dilakukan oleh wanita, namun data U.S. Bureau of Labor Statistics menyatakan bahwa dari tahun 2003 hingga 2015, rata-rata partisipasi pria di Amerika untuk memasak dan membersihkan rumah dalam keseharian mengalami peningkatan dari 35% ke angka 43%, dengan alokasi waktu yang dihabiskan meningkat dari 16 menit ke 21 menit. Sebaliknya, angka rata-rata partisipasi wanita mengerjakan pekerjaan rumah tangga di jangka waktu yang sama justru mengalami penurunan dari 54% ke 50%, dengan jumlah alokasi waktu yang menurun pula dari 58 menit ke 52 menit.

Manusia bukanlah makhluk super yang dapat melakukan segalanya. Tidak apa-apa untuk tidak dapat melakukan beberapa hal. Setiap diri kita memiliki minat dan talenta uniknya masing-masing yang perlu dibanggakan dan dikembangkan sesuai skala prioritas dengan mempertimbangkan waktu yang kita punya. Sejumlah penelitian sendiri mengatakan, bila kita memiliki minat akan suatu hal atau pekerjaan, dengan sendirinya kita cenderung untuk secara sukarela dan bahagia mengerjakannya, serta tidak menutup kemungkinan untuk melakukannya lebih baik lagi seiring berjalannya waktu karena adanya kesadaran dalam diri untuk mengembangkannya.

Lantas, apakah kita tidak dapat membuat diri sendiri jatuh cinta akan suatu kegiatan? Tentu bisa, dan tidak ada salahnya juga melakukan suatu hal untuk memenuhi harapan orang lain. Tapi apakah memenuhi ekspektasi orang lain akan membuat kita bahagia? Kembali lagi, hanya diri kita sendiri yang tahu. Terlepas dari seberapa kuatnya orang lain atau opini publik mempengaruhi kita, tidak ada yang benar-benar dapat menggerakan diri kita untuk melakukan suatu hal kecuali kita sendiri, bukan? Mengapa memaksakan diri melakukan hal yang tidak terlalu kita senangi bila waktu yang terpakai tersebut dapat dialokasikan ke hal lain yang tidak kalah penting? Alih-alih mencemaskan kemampuan yang kita kurang kuasai, mengoptimalkan talenta yang ada dan pelajari kemampuan baru yang belum kita kuasai sesuai apa yang kita senangi tampaknya akan lebih berharga dilakukan – dan tentunya akan menjadikan diri kita lebih mudah serta bahagia dalam menjalankannya.

 

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024