Self Lifehacks

Untuk Apa Menumpuk Yang Tak Perlu?

Greatmind

@greatmind.id

Redaksi

Ilustrasi Oleh: Mutualist Creative

Kebiasaan menumpuk benda-benda yang tak lagi kita butuhkan seringkali sulit dihindari. Tapi ada cara untuk mengatasinya.

Ketika membeli sesuatu, acapkali kita berencana untuk membuang satu atau beberapa benda serupa yang sudah menumpuk di rumah. Namun, ketika tangan sudah akan membuang benda tersebut, rasa sayang membayangi hati, membuat kita mengurungkan niat membuang benda tersebut dan kembali menumpuknya meski tahu jarang atau bahkan tak pernah lagi menggunakannya. Tak hanya beda, kadangkala itu terjadi pula pada catatan, bon-bon belanja, tiket nonton film, tiket nonton konser dan berbagai romel lain yang tak lagi kita butuhkan, tapi membuangnya pun tak sampai hati karena merasa seperti ada kenangan yang tersimpan padanya. Merasa akrab dengan keadaan tersebut? Anda tak sendiri. Banyak sekali orang merasakan dan melakukan hal yang sama.

Meski sering kelihatan sepele, kebiasaan menumpuk barang itu, atau dikenal juga dengan istilah hoarding, ternyata kerap dianggap sebagai bentuk gangguan kejiwaan. Seserius itu? Tak semenakutkan yang kita duga tentu saja. Namun tak jarang kebiasaan ini berdampak pada kehidupan personal maupun sosial seseorang.

Kebiasaan menumpuk barang ini, memang tidak secara resmi dikategorikan sebagai kelainan kejiwaan, namun diyakini memiliki kaitan dengan kelainan kejiwaan lain seperti bipolar, kecemasan terhadap lingkungan sekitar, dan depresi. Beberapa orang yang mengalami gangguan ini juga diketahui mengidap anorexia nervosa, dementia, hingga skizofrenia. Gangguan ini kerap pula dihubungkan dengan Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan ada pula, meski jumlahnya lebih sedikit, terkait dengan Attention Deficit Disorder (ADD). Kebiasaan ini, juga kerap diturunkan melalui dari kebiasaan keluarga.

Menurut sebuah artikel di www.elementsbehavioralhealth.com, berjudul Hoarding: A Compulsive Mental Disorder, kebiasaan ini umumnya memiliki dua permasalahan serius. Pertama, penumpukan benda-benda yang memiliki sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali nilai di dalamnya. Kedua, ketidakmampuan si ‘penumpuk’ memilah benda-benda yang telah ditumpuknya. Pada umumnya, benda-benda yang kerap ditumpuk adalah surat kabar atau majalah lama, kotak atau kemasan makanan, kaleng, surat-surat, berbagai daftar dan catatan, pakaian, sepatu, aksesoris, dan berbagai benda lain yang tak jarang terasa aneh bagi orang lain. Ada pula orang yang ‘tumpukannya’ berupa hewan peliharaan. Untuk kebiasaan ini, seorang hoarder kerap disebut sebagai animal hoarder, di mana ia bisa saja memelihara belasan, atau bahkan puluhan hewan peliharaan.

Seseorang, biasanya tak serta merta menjadi seorang hoarder. Kebiasaan menumpuk barang seringnya muncul perlahan, tanpa disadari dan terbangun selama bertahun-tahun. Timbunan yang terus menggunung itu kemudian menyebar ke berbagai sudut hunian, membuat kebiasaan ini seperti mustahil akan bisa diperbaiki. Kondisi seperti ini, menurut Marie Kondo, konsultan kerapian dari Jepang yang juga menulis beberapa buku laris tentang berbenah, memang cenderung sangat sulit diatasi apabila si penumpuk tak mau mengobah pola berbenahnya. “Orang kembali ke kebiasaan berantakan karena mengira sudah beres-beres secara menyeluruh, padahal sejatinya mereka belum tuntas memilah dan menyimpan,” ungkap Marie Kondo dalam bukunya The Life-Changing Magic of Tidying Up

Seorang hoarders, memang seringnya tak bisa atau bahkan tak akan bisa benar-benar lepas dari rasa kepemilikannya, meski mengetahui betapa berantakan, tidak aman, dan tidak sehat lingkungan huniannya karena benda-benda yang ia tumpuk. Tak jarang, seseorang butuh berkonsultasi pada konsultan kerapian seperti Marie Kondo dulu untuk bisa lepas dari kepungan benda-benda yang ditumpuknya. Tapi sebenarnya, kita bisa juga melakukannya tanpa bantuan konsultan kerapian, sepanjang mau berusaha keras melepas rasa tidak tega membuang barang-barang yang kita simpan. Tapi, sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan. kita bisa saja mengubah diri, keluar dari kebiasaan tersebut.

Beberapa kiat dari Marie Kondo yang disarikan dari buku yang disebutkan di atas, bisa kita ambil untuk mengikis sedikit demi sedikit – bila tak bisa serta merta – kebiasaan menumpuk barang.

Buang, Simpan

Menurut Kondo, langkah paling efektif untuk berbenah dan mengikis kebiasaan menumpuk barang adalah dengan mengerjakan dua aktivitas esensial yang terdiri dari membuang dan menentukan di mana harus menyimpan barang. Di antara keduanya, membuang harus didahulukan.

Luangkan Waktu Khusus

Berbenah adalah kegiatan istimewa. Maka alih-alih berbenah setiap hari, akan lebih baik bila meluangkan waktu khusus dan berkomitmen untuk melakukannya hingga tuntas. Dengan berbenah hingga tuntas, seseorang akan memiliki kepercayaan diri yang lebih baik pada kemampuannya melepaskan diri dari kebiasaan menumpuk barang.

Jangan Memulai Dengan Mensortir Benda-Benda Kenangan

Banyak orang biasanya akan merasa berat hati membuang benda-benda yang memiliki kenangan buatnya. Maka, sebaiknya benda-benda yang memiliki kenangan diletakkan di urutan paling belakang dalam daftar “pembuangan”. Pakaian, buku, kertas, pernak-pernik, lalu baru benda kenang-kenangan adalah urutan yang terbukti paling aman untuk “upacara pembuangan” yang dilakukan.

Berbenah Adalah Dialog Dengan Diri Sendiri

Menyalakan televisi atau musik biasa dilakukan banyak orang ketika berbenah. Padahal sebenarnya, keriuhan membuat kita tak bisa berbicara dari hati ke hati dengan benda-benda yang tengah dibenahi dan juga dengan diri sendiri. Seperti meditasi, berbenah akan bisa memberikan kesempatan berdialog dengan diri sendiri. Itu sebabnya amat disarankan untuk berbenah di pagi hari, saat suasana masih sunyi dan udara masih segar.

Berterimakasih dan Ikhlaskan

Bila menemui kesulitan untuk membuang benda yang tak lagi kita butuhkan, coba bisikan kata “terima kasih” pada benda tersebut. Katakan padanya kesan selama memilikinya dan manfaat yang kita rasakan. Dengan melakukan itu, kita akan lebih mudah melanjutkan kegiatan berbenah yang dilakukan. Bukankah untuk bisa sepenuh hati mensyukuri hal-hal yang paling penting dalam hidup kita perlu membuang dulu apa-apa yang sudah tidak bermanfaat?   

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024