Society Art & Culture

Aku Berpikir Maka Aku Ada

Ketika masih duduk di bangku SMP, saya pernah diminta oleh guru filsafat untuk menjawab sebuah pertanyaan, “Siapakah kamu?” secara tertulis. Pertanyaan itu ternyata membuat saya berpikir keras. “Siapakah saya?”, “Mengapa bisa dari milyaran manusia di dunia ini, saya terpilih menjadi manusia yang hidup sampai sekarang?”. Sejak hari itu, saya jadi tertarik untuk terus mengulik filsafat hingga sekarang. Semakin sering baca teori-teori filsafat. Faktanya, saya mendapatkan beragam manfaat dari filsafat saat berada di bangku kuliah. Dalam berorganisasi, misalnya, berdiskusi jadi sangat menyenangkan karena ternyata saya bisa memberikan perspektif yang berbeda pada teman-teman. Saya terbantu untuk dapat melihat segala sesuatu dari berbagai arah. Membuat sudut pandang lebih luas, juga meningkatkan kesadaran untuk menentukan pilihan dan berperilaku. 

Dalam segala aspek hidup, filsafat menjadi penting untuk membantu pola pikir kritis; untuk kita bisa mempertanyakan kebenaran suatu informasi agar tidak mudah terjerumus. Ia bisa jadi semacam alat untuk berpikir secara luas demi membantu kita memiliki perspektif yang lebih objektif. Misalnya saat mengonsumsi berita, kita jadi tidak mudah termakan propaganda bisnis atau politik yang mengutamakan kepentingan tertentu. 

Dalam segala aspek hidup, filsafat menjadi penting untuk membantu pola pikir kritis; untuk kita bisa mempertanyakan kebenaran suatu informasi agar tidak mudah terjerumus.

Meski teori-teori filsafat sudah ada sejak berabad-abad lalu, tapi kaedahnya masih banyak yang relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Banyak filsuf yang dulu cukup sering melakukan kritik pada institusi keagamaan karena dianggap menjadikan agama untuk mencari uang dan menjauhkan manusia dengan Tuhan. Sehingga mereka membuat berbagai macam teori untuk memperkuat argumennya tersebut. Kondisi ini masih cukup relevan dengan masa modern. Kita hingga kini masih mengalami situasi semacam itu. Namun memang cukup disayangkan bahwa sekarang ini sudah tidak lagi banyak bermunculan filsuf-filsuf baru yang melahirkan teori-teori filsafat baru. Seakan kita sedang mengalami kemunduran zaman di kala teknologi justru mengalami kemajuan. 

Menurut saya, fenomena tersebut terjadi karena kemudahan-kemudahan yang hadir membuat kita seolah malas untuk berpikir. Berbagai distraksi di masa sekarang seperti tayangan yang kurang esensial serta produk teknologi yang kurang bermanfaat menurunkan minat kita untuk mencari tahu lebih dalam tentang permasalahan dunia. Kemudian kita tidak lagi memikirkan apa yang terjadi di sekitar kita dan menjalani saja hidup apa adanya. Jadi sebenarnya, dengan belajar filsafat, kita bisa dipacu untuk belajar lebih banyak lagi, mempertanyakan lebih banyak lagi tentang kehidupan.

Berbagai distraksi di masa sekarang seperti tayangan yang kurang esensial serta produk teknologi yang kurang bermanfaat menurunkan minat kita untuk mencari tahu lebih dalam tentang permasalahan dunia.

Walaupun begitu, kita tetap harus berhati-hati dalam memercayai satu teori. Belajar filsafat harus disertai dengan konteks. Tidak bisa selalu berpikir satu teori 100% benar. Pada dasarnya, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang 100% benar. Contohnya Kierkegaard, seorang eksistensialis yang sering melakukan kritik terhadap filsuf sebelumnya seperti Hegel, walaupun tidak berarti Hegel salah. Maka sebenarnya, dalam filsafat untuk melihat mana yang benar dan tidak adalah dengan sebuah area yang abu-abu. Untuk tahu mana yang paling bijak, kuncinya adalah membaca lebih banyak. Itulah gunanya berpikir filsafat agar kita bisa berpikir secara kritis, memperluas perspektif agar tidak langsung percaya pada satu teori atau filsuf saja, serta mengabaikan yang lainnya. Sebaliknya, percaya pada satu filsuf atau teori saja justru membuat pemikiran kita sempit. Sebab setiap filsuf dengan teorinya bisa benar dalam satu konteks dan kurang tepat untuk konteks lainnya. 

Untuk tahu mana yang paling bijak, kuncinya adalah membaca lebih banyak.

Biasanya untuk menentukan apakah sebuah teori baik untuk dipercaya dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari, saya menganalisa latar belakang dan profil para filsuf. Jika kisah kehidupannya memang berada dalam situasi yang sangat depresif tanpa menemukan solusi sehingga membuat karya-karyanya pun depresif, mungkin harus dihindari. Sementara mereka yang terlihat depresif tapi ia menemukan solusi atas pergumulannya, kita bisa mempertimbangkan untuk memercayainya. Dengan meneliti lebih jauh kehidupan para filsuf, kita juga bisa menghindari stigma yang sering lekat dengan para filsuf yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama atau budaya. 

Banyak sekali kesalahpahaman terhadap mereka. Sebagian filsuf yang menentang agama atau budaya dianggap seorang atheis. Padahal banyak dari mereka yang menjadi teolog. Mereka menentang beberapa ajaran agama atau budaya dengan tujuan untuk mengembalikan rasionalisme masyarakat terhadap agama dan budaya tersebut. Semua agar kita tidak selalu setuju seutuhnya dengan ajaran agama yang mungkin saja bisa menyesatkan. Seperti dulu ketika terjadi zaman reformasi gereja di mana para pihak gereja menyalahgunakan agama demi kepentingan tertentu. Jadi sesungguhnya para filsuf bukan menentang ajaran agama atau budaya tapi berupaya untuk menyadarkan kita agar tidak take it for granted. Agar kita tidak cuma menganggap agama adalah warisan dari orang tua saja sehingga tidak lagi menggunakan rasio dalam menerapkannya di kehidupan.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023