Society Lifehacks

Berbagi Ruang Pribadi

Pernah tidak berada di dalam bus Transjakarta atau di dalam kereta MRT lalu konstan memilih kursi di pinggir dibandingkan di tengah? Atau pernah tidak saat terpaksa duduk di tengah langsung memasang earphone? Kira-kira apakah ini hal yang terjadi begitu saja atau sebenarnya ada alasan khusus? Apakah bisa berarti sikap ini membuat kita menjadi seseorang yang individualis? Jangan buru-buru berasumsi apalagi merasa bersalah. Karena ternyata kecenderungan kita memilih tempat duduk di ruang publik secara psikologis ternyata bisa menggambarkan karakter diri. Mengapa? Jawabannya dapat dijelaskan dengan teori proxemics yang mempelajari tentang sikap kita di ruang sosial. 

Proxemics adalah sebuah studi yang menganalisa tentang cara kita berkomunikasi secara nonverbal di tengah-tengah ruang publik. Kita sebagai manusia secara tidak sadar memberi jarak untuk memisahkan diri dengan orang lain di situasi sosial tertentu. Bukan berarti kita antisosial. Namun ini adalah cara kita sebagai manusia menentukan seberapa banyak ruang pribadi dibagikan kepada orang lain. Dan itu sangatlah wajar. Memiliki batas dengan orang lain membuat kita merasa aman dan memberikan kita kendali akan ruang kita sendiri. Sepertinya mustahil jika seseorang tidak punya personal boundaries dalam bersosialisasi. Tidak mungkin ada seseorang yang bisa selalu berada dalam keramaian 24 jam sehari. Meskipun kita adalah makhluk sosial sudah pasti kita tetap butuh privasi. Akan tetapi setiap orang punya kadar berbeda-beda saat berada dalam situasi di mana dia harus membatasi dirinya dengan orang lain.

Memiliki batas dengan orang lain membuat kita merasa aman dan memberikan kita kendali akan ruang kita sendiri.

Seseorang yang lebih sering berada dalam ruang pribadinya ketika berada di tempat ramai pasti akan mencari berbagai cara untuk berada di zona ternyamannya. Seakan harus “melindungi” dirinya dari percakapan atau interaksi dengan orang asing. Misal, bermain handphone selama antre di barisan teller bank. Atau memasang earphone dengan volume kencang agar tidak mendengar percakapan orang lain atau diajak berbicara oleh orang lain. Bisa juga jarak tersebut dibuat dengan menghindari berbalas tatapan mata dengan orang asing di saat harus berdiri di bus. Sikap seperti ini bisa jadi menunjukkan kepribadiannya yang lebih cenderung introver dan tertutup. Sebaliknya, mereka yang bisa tidak masalah kalau harus duduk di bangku tengah di dalam pesawat bahkan tidak masalah mengajak berbincang orang asing di sebelahnya bisa dibilang berkecenderungan ekstrover. Lebih fleksibel dan terbuka pada sebuah lingkungan yang kurang familiar. 

Menariknya lagi, studi proxemics dipercaya dapat membantu kita menganalisa sikap manusia lain yang memberikan jarak dalam berinteraksi sosial. Dalam hal ini terdapat beberapa ukuran untuk menilai seberapa terbuka seseorang itu. Variabel yang sudah ditemukan beberapa peneliti termasuk postur tubuh, kontak mata, gender, umur, status sosial, dan topik percakapan bisa memberikan seseorang alasan untuk berjarak dengan orang lainnya. Seorang antropolog asal Amerika, Edward Hall, menemukan bahwa teori ini berguna untuk kita dapat lebih cermat membaca situasi. Khususnya dalam hal komunikasi interpersonal. 

Mempelajari sikap seseorang dalam ruang sosial, bagaimana upayanya memiliki kenyamanan dalam ruang pribadi bisa membuat kita lebih kritis untuk menghadapi orang tersebut. Contohnya dalam variabel topik percakapan. Jika kita bisa memahami tandanya mulai merasa tidak nyaman dengan topik yang sedang dibicarakan, kita akan lebih sensitif untuk langsung mengubah topik. Selain itu kita juga bisa lebih mudah memposisikan diri ketika harus berhadapan dengan orang yang memiliki latar belakang atau profil berbeda. Dengan mereka yang umurnya lebih muda atau status sosial yang berbeda, kita bisa cepat tanggap untuk tidak melewati batas yang dibuatnya. Seperti cepat-cepat menyudahi interaksi atau bahkan tidak memulai interaksi sama sekali. Sebaliknya, memahami bahwa kita pun butuh ruang pribadi di situasi sosial tertentu dapat membuat kita mengenal diri sendiri. Memahami seberapa jauh batasan yang kita buat di ruang-ruang sosial dan menganalisa seberapa perlu kita memberikan batas.  

Mempelajari sikap seseorang dalam ruang sosial, bagaimana upayanya memiliki kenyamanan dalam ruang pribadi bisa membuat kita lebih kritis untuk menghadapi orang tersebut.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023