Society Art & Culture

Menata Kembali Kesetaraan

Membicarakan tentang kesetaraan sangatlah kompleks. Banyak lapisan yang harus ditembus demi mencapai kesetaraan sosial terutama kesetaraan gender. Tentu saja berkata begini bukan berarti saya lebih tahu dari pria lainnya. Bagaimanapun juga saya tidak akan bisa sepenuhnya memahami ketidaksetaraan yang dialami para perempuan. Namun, saya berharap kita semua bisa sama-sama belajar dan menyadari betapa kesetaraan dapat meruntuhkan berbagai tembok-tembok pembatas antar manusia.

Saya berharap kita semua bisa sama-sama belajar dan menyadari betapa kesetaraan dapat meruntuhkan berbagai tembok-tembok pembatas antar manusia.

Sebagai pria, saya menyadari bahwa saya dilahirkan dengan privilese yang mungkin tidak disadari hingga dewasa. Privilese tersebut bahkan telah menjadi sistemik dan mengakar di masyarakat. Terutama masyarakat yang menganut paham patriarki. Sedari kecil, saya memang tinggal di Selandia Baru. Tapi Ibu masih membawa tradisi Jawa yang secara tidak sadar masih memahami pria sebagai nomor satu. Seakan paradigma ini sudah diturunkan dari generasi ke generasi hingga menjadi sebuah tradisi. Namun, saya berpikir di era modern ini gagasan tersebut seharusnya bisa disesuaikan dengan zaman. Kita sudah tidak lagi hidup di zaman kerajaan di mana wanita dianggap sebagai penghibur, sebuah nilai estetika, atau bahkan sebuah piala. 

Perlu diakui, tradisi mengambil peranan penting dalam menerapkan kesetaraan gender. Begitu juga paham agama di mana terdapat penggambaran tentang pria lebih superior dari wanita. Tidak hanya pemahaman tentang wanita, toxic masculinity atau pemahaman maskulinitas yang menjadi sebuah momok stereotip juga bisa jadi penyebab ketidaksetaraan. Banyak orang tua yang masih mengajarkan anak laki-lakinya untuk merepresi perasaan. Kalau menangis dianggap bukan laki-laki sejati. Kalau menunjukkan perasaan dianggap tidak maskulin. Sehingga lambat laun, seakan maskulin adalah soal kekuatan atau kekuasaan.

Saya sempat berdiskusi dengan istri tentang budaya Asia yang sebenarnya memiliki lebih banyak unsur-unsur feminin ketimbang di benua lainnya. Misalnya ketika masih kecil, karena kami adalah orang Jawa, saya diajarkan menari. Begitu juga di budaya Bali di mana laki-laki juga diajarkan menari. Namun kami cukup heran mengapa tetap ada toxic masculinity terjadi meski dalam budaya kita sudah banyak unsur feminin yang melekat. Seharusnya dengan adanya keseimbangan kedua unsur tersebut dalam keseharian, kita bisa lebih menghargai keberadaan satu sama lain. Ironisnya, di lingkungan sekitar sendiri, saya masih melihat adanya pelecehan seksual. 

Saya dan salah satu sahabat pria sempat berdiskusi tentang ini. Kami cukup heran bila masih ada pria yang merasa sebagai seseorang yang top lalu seakan punya kuasa untuk menyentuh wanita. Entah sekadar menyentuh tangan atau merangkul. Kami lantas bertanya-tanya:

Apakah pria yang seperti itu merasa inferior sampai harus memperlihatkan dirinya bad guy dan mendapatkan validasi tentang sisi maskulin yang dimilikinya?

Apakah ini juga terjadi pada pria yang sering menggunakan kekuatan atau kekerasan?

Apakah sebab mereka kurang percaya diri hingga lebih memiliki memakai kekerasan ketimbang berdialog atau menyelesaikan masalah dari dalam internal dirinya?

Menurut saya, di setiap era yang kita hidupi, harus ada pembaruan gaya hidup dan itu harus dimulai dari lingkaran terkecil kita. Dimulai dari diri sendiri untuk memutus rantai dari generasi pendahulu. Contohnya, saya sebagai pria punya tugas untuk mendidik anak laki-laki saya kelak agar tidak terpengaruh dengan apa yang masyarakat pikirkan. Mengajarkannya tentang empati, agar sebagai pria bisa tahu diri, belajar mendengar dan mengetahui, serta mau mengakui kesalahan. Dari perempuan-perempuan hebat di sekitar —istri, ibu, dan adik perempuan, saya belajar tentang empati tersebut. Apalagi di dunia seni peran, empati menjadi salah satu medium untuk membuka gerbang pemahaman diri merasakan pengalaman hidup orang lain. Sehingga dengan menumbuhkan empati dalam diri, kita perlahan bisa mencoba merasakan apa yang orang lain rasakan, menyadari ada hal-hal yang harus bisa kita kendalikan. 

Menurut saya, di setiap era yang kita hidupi harus ada pembaruan gaya hidup dan itu harus dimulai dari lingkaran terkecil kita.

Kesetaraan terdengar sederhana ketika dibicarakan. Meski kenyataannya sulit dicapai. Bagi para pria khususnya, dibutuhkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan itu sendiri. Inilah yang lebih substansial ketimbang menunjukkan sikap gentleman layaknya di cerita-cerita film. Inilah pula yang harus ditanamkan pada anak laki-laki kita nantinya. Dari waktu ke waktu, kita harus mau beradaptasi. Ajaran tradisi, agama, atau budaya yang baik dipertahankan. Sedangkan yang sudah tidak sesuai dengan zaman baiknya ditinggalkan. Bukan berarti kita tidak menghargai sejarah atau budaya, tapi supaya kita bisa berevolusi ke arah yang lebih konstruktif dengan menata kembali paradigma tentang eksklusivitas yang memberikan jarak antara pria dan wanita, serta tentang perbedaan peran pria wanita yang sebenarnya adalah konsep yang kita buat sendiri. 

Kesetaraan terdengar sederhana ketika dibicarakan. Meski kenyataannya sulit dicapai. Bagi para pria khususnya, dibutuhkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan itu sendiri.

Jujur saya cukup cemas dengan adanya ideologi tentang peran-peran yang memisahkan pria dan wanita. Menurut saya, peran adalah sebuah konsep yang dibuat masyarakat berdasarkan zaman yang kita hidupi. Kalau dulu semua orang sepakat mengganti uang dengan batu, kini kita akan mengumpulkan batu untuk punya masa depan yang lebih baik. Begitu pula peran dan segala label yang ada di tengah-tengah kita. Terlalu banyak peran yang kita jalani justru bisa membuat kita tidak fleksibel. Saya percaya konsep label dan peran ini sepertinya perlu direvisi kembali. Istri saya bisa lebih maskulin daripada saya dengan pikiran, visi dan misinya yang menunjukkan sisi maskulin. Perempuan bisa jadi presiden, laki-laki bisa jadi presiden. Kedua gender bisa jadi apapun yang mereka mau.

Perempuan bisa jadi presiden, laki-laki bisa jadi presiden. Kedua gender bisa jadi apapun yang mereka mau.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023