Society Lifehacks

Persatuan, Kesetaraan, Perdamaian

Dena Rachman

@denarachman

Aktivis & Pengusaha Kreatif

Fotografi Oleh: Dani Huda

Persatuan, kesetaraan dan perdamaian. Sejak dahulu hingga sekarang, tidak pernah saya dapati kita berhenti membahas ketiga isu yang saling berkaitan satu sama lain tersebut dalam sejumlah kesempatan. Ketiganya merupakan cita-cita yang kita impikan, bukan? Sebuah dunia yang memberi ruang kesempatan pada setiap yang bernafas untuk hidup, berekspresi, dan berinteraksi dalam damai satu sama lainnya secara berdampingan. Dengan sejumlah upaya yang telah kita bersama lakukan sejauh ini, apakah kini kita telah mencapainya? Sayangnya belum.

Saya tidak mengatakan segala usaha yang telah kita lakukan selama ini tidak membuahkan hasil. Saya juga tidak mengatakan kita telah berada dalam posisi dimana kita tidak perlu memikirkan lagi mengenai kebutuhan paling dasar manusia di bumi ini, yaitu hak asasi yang dimiliki, karena kita telah berjuang dengan baik untuk mewujudkannya. Tapi saya ingin mengatakan bahwa kesetaraan yang kita perjuangkan, belum lah merata didapat oleh setiap orang tanpa memandang siapa mereka di permukaan. Who knows exactly everyone in the inside?

Saya ingin berbagi pengalaman saya saat berada di tengah-tengah mereka yang terbuka akan segala pendapat nilai-nilai kemanusiaan, yang menghargai setiap pribadi yang hidup, serta menjadikan sikap toleransi tanpa memandang latar belakang apapun sebagai bagian dari interaksi yang tulus, dalam 2 minggu pengalaman saya mengikuti summer school mengenai hukum internasional sexual orientation and gender identity (SOGI) di Belanda.

Sebelum summer school dimulai, saya sangat beruntung bisa ambil bagian di konferensi AIDS internasional 2018 di Amsterdam. Di sana saya menjadi tenaga sukarela untuk salah satu program United Nations Population Fund (UNFPA) yang mempromosikan pentingnya pencegahan AIDS, dengan tujuan untuk memantau populasi masyarakat dunia serta memberi kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan seksual dan reproduksi. AIDS 2018 itu sendiri adalah sebuah konferensi internasional yang mengangkat isu mengenai HIV dalam berbagai sudut. Mulai dari aspek kesehatan, penelitian dan teknologi, persamaan HAM, hukum dan kebijakan politik, hingga upaya pencegahan yang dibahas dalam serangkaian kegiatan konferensi, pameran, diskusi panel, dan workshop.

Bertemu dengan para peserta summer school yang berasal dari berbagai penjuru dunia dengan latar belakang berbeda, saya merasa sangat beruntung dapat ikut ambil bagian dalam proses pembelajaran, networking, dan juga berbagi pengetahuan yang saya miliki dengan orang-orang ini. Dalam kegiatan yang sangat menghargai ragam pemikiran ini, pandangan saya menjadi sangat terbuka terhadap isu-isu gender yang kompleks, serta menyangkut banyak lapisan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya adalah kesetaraan gender, yang secara spesifik membahas mengenai hak dan kesetaraan para transgender, yang saya pahami merupakan isu cukup sensitif di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Di minggu pertama kegiatan, saya ditunjukkan peta dari tren global SOGI, yang salah satunya memaparkan negara dengan tingkat keramahan pada LGBTI, dinilai dari reformasi hukum yang berlaku serta sikap keramahan itu sendiri dari penduduknya. Hasilnya, secara umum negara-negara di Eropa Barat dan Skandinavia seperti Belanda, Denmark, Swedia, Belgia, dan Norwegia, menempati urutan atas untuk negara yang teramah bagi LGBTI dengan adanya aturan hukum yang memproteksi serta menjamin persamaan hak-hak mereka dengan yang lain. Berseberangan dengan negara-negara tersebut, negara di wilayah Timur Tengah, Afrika, dan termasuk Indonesia, dinilai belum memiliki aturan yang secara legal memproteksi dan berpihak pada LGBTI, walaupun dalam cakupan HAM, setiap warga negara seharusnya memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Meski Indonesia sendiri tidak mengkriminalisasi para transgender, namun masyarakat belum sepenuhnya dapat menerima dan bersikap ‘biasa saja’ terhadap mereka. Saya sendiri dapat memahami adanya sejumlah faktor yang menyebabkan sikap resistensi ini. Mulai dari tingkat pendapat per kapita, pendidikan, agama, budaya, hingga tradisi ketimuran yang masih kita anut dalam keseharian, semuanya memiliki andil dalam menyikapinya.

Di sela-sela aktivitas konferensi dan workshop, saya berkesempatan untuk pertama kalinya menyaksikan Amsterdam Pride, sebuah gay festival yang dirayakan oleh satu kota secara besar-besaran. Perlu diketahui, Amsterdam Pride tidak hanya sekedar festival mengenai LGBTI. Dilihat dengan pikiran terbuka, esensi dari festival tersebut sebenarnya jauh lebih besar daripada itu. It’s a celebration of humanity, which celebrates us as a human. Kita sebagai manusia memiliki hak dasar untuk hidup dan menjalin relasi dengan siapapun tanpa batas. Dan sebagai individu, selama tidak merugikan orang lain, kebebasan untuk menjadi diri sendiri itu sudah sepatutnya dihargai sebagai bagian dari ekspresi pribadi. Kita tidak diciptakan untuk menjadi seragam. Namun saya tahu, bahwa Tuhan menciptakan kita untuk saling kita bersatu dan mengasihi dalam perbedaan yang ada, karena memahami manusia membutuhkan satu sama lainnya untuk hidup. Tidak ada satu ajaran agama pun yang mengajarkan permusuhan bukan?

Kita tidak diciptakan untuk menjadi seragam.

Saya merasa sangat tersentuh dan terharu. Betapa indahnya toleransi dalam keragaman yang satu kota tunjukan dalam festival ini. Saling menghargai satu sama lain tanpa memandang stigma atau label yang melekat. Itu yang saya rasa kurang kita miliki di negara ini. Benak kita sudah terpatri dalam sekat-sekat tertentu yang rigid, yang seolah menolak suatu perbedaan mengisi bagian dalam ruang bermasyarakat. Saya tidak ingin berharap terlalu muluk, namun saya ingin entah suatu saat nanti, berapa tahun lagi mungkin kita dapat juga merayakan sebuah festival kemanusiaan yang memberi tempat dan menghargai siapa saja yang berekspresi menjadi dirinya di sini. Atau paling tidak, menjadikan negara ini sebuah tempat yang aman dan ramah bagi siapa saja yang menempatinya. Bukankah dasar negara kita juga menghendaki keadilan untuk seluruh rakyatnya?

Apakah mimpi saya terlalu tinggi? We just need to be respectful towards each other completely.

***

Busana: Studio Moral

Pengarah Gaya: R.Radhitio Anindhito

Lokasi: Dia.Lo.Gue Kemang

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023