Society Planet & People

Sudahkah Kita Berpikir Kritis?

Henry Manampiring

@manampiring

Penulis

Ilustrasi Oleh: Salv Studio

Sadar tidak kalau apa yang kita pilih dan lakukan sehari-hari mungkin saja terpengaruh dari apa yang orang lain lakukan tanpa disengaja? Misalnya saja ketika naik kereta di Jepang. Ketika melihat tidak ada orang yang berbicara di kereta lalu kita ikut diam karena berpikir itulah norma yang berlaku. Atau kasus simpelnya adalah dominasi warna hitam dan perak pada kebanyakan mobil di Indonesia. Mengapa jalanan ibu kota tidak dihiasi dengan sejumlah mobil warna-warni? Padahal tidak ada yang melarang juga kalau kita beli warna yang mentereng. Nah, fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh terciptanya tren ikut-ikutan di benak kita yang telah tertanam dari zaman ke zaman, generasi ke generasi. Dipercaya bahwa mengikuti apa yang kebanyakan orang pilih atau lakukan baik untuk keberlangsungan spesies kita karena organisme yang cenderung berkumpul bersama kawanannya dapat hidup lebih lama, dapat survive dibandingkan dengan yang nyeleneh sendiri. Mentalitas seperti ini telah terprogram di otak kita karena revolusi yang sudah berlangsung ratusan ribu tahun. Fenomena inilah yang dikenal dengan social proof.

Dipercaya bahwa mengikuti apa yang kebanyakan orang pilih atau lakukan baik untuk keberlangsungan spesies kita karena organisme yang cenderung berkumpul bersama kawanannya dapat hidup lebih lama, dapat survive dibandingkan dengan yang nyeleneh sendiri.

Lalu bagaimana proses fenomena ini terjadi di masyarakat? Biasanya dunia komunikasi dan periklanan menggunakan teori social proof tersebut sebagai dasar memasarkan produk. Contohnya saja ketika kita melihat iklan produk pembalut A. Di dalam iklannya terdapat data bahwa delapan dari 10 perempuan di Indonesia menggunakan pembalut A. Jenis social proof demikian tergolong yang positif. Berarti mungkin bisa jadi negatif? Bisa. Negative social proof terjadi ketika kita sebenarnya berusaha mengajak seseorang menjauhi sebuah perilaku buruk tapi justru tanpa disadari penyampaiannya memengaruhi orang untuk berperilaku demikian. Semisal pemberitaan tentang kewaspadaan merokok pada anak usia dini. Maksudnya bagus berita tersebut ingin mengatakan bahwa terdapat risiko menyebar-luasnya masalah tersebut. Tapi kalau eksposur berita ini berulang-ulang bisa saja mengimplikasikan bahwa masalah ini sudah wajar terjadi dan dimaklumi. 

Negative social proof terjadi ketika kita sebenarnya berusaha mengajak seseorang menjauhi sebuah perilaku buruk tapi justru tanpa disadari penyampaiannya mempengaruhi orang untuk berperilaku demikian.

Terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Profesor Cialdini asal Amerika Serikat. Dibuatnya dua tanda yang melarang pengunjung mengambil kayu purba di sebuah hutan lindung. Tanda pertama menyampaikan informasi bahwa sudah banyak pengunjung yang mengambil kayu tersebut yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Tanda kedua hanya bertuliskan "Jangan Diambil." Hasilnya, tanda pertama membuat lebih banyak pengunjung yang mengambil kayu. Mengapa? Karena secara psikologis saat orang membaca tanda tersebut mereka berpikir: "Oh, ternyata sudah banyak yang ambil. Tidak apa-apa mengambil sedikit lagi." Akhirnya penyebaran kesadaran yang maksudnya positif malah memberikan sinyal bahwa hal tersebut sudah lumrah dan jadi negatif. Jadi sebenarnya memperhatikan pemilihan kata dan diksi sangatlah penting untuk konteks sosial yang bermaksud untuk mengubah perilaku masyarakat. Misalnya daripada mengumumkan data: 20% anak SMA di Indonesia sekarang sudah merokok, mengapa tidak menggantinya dengan: 80% anak SMA di Indonesia menolak merokok. Sebenarnya pesan yang ingin disampaikan sama saja bukan? Dampaknya yang akan berbeda. 

Kesulitannya di masyarakat kita adalah media di negara ini memiliki kecenderungan untuk lebih memilih menerbitkan hal yang sensasional, hal yang menakutkan daripada yang inspiratif. Apalagi ditambah dengan kehadiran media sosial yang memiliki dua sisi mata pedang. Telah menjadi paradoks bahwa media sosial bisa menjadi platform berekspresi namun sekaligus berpotensi menyerang balik. Selain itu yang membuat sebuah negative social proof menjadi masalah besar adalah ketika kita kurang kritis. Seringkali apa yang beredar di grup chat atau media sosial langsung dipercaya. Tidak ditelaah lebih dalam. Memang faktor pendidikan sebenarnya bisa jadi salah satu faktor penyebab perilaku tersebut. Kita tidak dibiasakan untuk mempertanyakan. Sebaliknya terbiasa untuk percaya saja pada yang diajarkan di sekolah atau pada apa yang ditetapkan para golongan superior. Faktor lainnya adalah sisi emosional. Para netizen kita cepat sekali disulut emosinya. Banyak dari mereka yang hanya membaca tajuk berita lalu langsung nge-gas. Tentu saja tindakan ini tidak akan memperbaiki situasi. Pemberitaan negatif saja sudah menjadi masalah apalagi ketika pemberitaan negatif yang direspon dengan emosi. Dampaknya pasti bisa lebih besar lagi.

Kita tidak dibiasakan untuk mempertanyakan. Sebaliknya terbiasa untuk percaya saja pada yang diajarkan di sekolah atau pada apa yang ditetapkan para golongan superior.

Baru-baru ini tersiar kabar tentang isu Wamena yang kembali rusuh karena adanya hoax. Disebutkan ada seorang guru yang mengucapkan pernyataan rasial. Meski diduga ternyata tidak benar. Kalau sampai kericuhan ini hanya disebabkan oleh hoax bukankah ironis sekali? Budaya mengendalikan diri tidak bisa diciptakan dari luar diri. Harus dikembangkan oleh masing-masing individu. Karena kalau semuanya harus dikendalikan oleh peraturan pemerintahan rasanya terasa tidak sesuai dengan adanya konsep demokrasi di masyarakat kita. Apalagi berkenaan dengan media sosial yang dibuat dengan tujuan kebebasan berekspresi. Tidak salah kalau ada yang bilang "My social media account is my business," karena memang begitulah seharusnya ranah media sosial. Hanya saja kita tetap harus ingat akan konsekuensi di mana setiap kebebasan pasti ada konsekuensinya. Selama tidak melanggar hukum (yang berkaitan dengan ujaran kebencian, hoax, atau pencemaran nama baik) dan masih berhubungan dengan etika dan norma, kita sesama individu hanya bisa membantu mengingatkan tanpa perlu ada unsur kekerasan atau ucapan-ucapan negatif. Saya percaya manusia diberikan kapasitas untuk belajar dan solusi dari masalah ini bisa dihasilkan dari tidak menyerah. Tidak menyerah untuk mendidik pribadi dari generasi manapun. Salah satunya mungkin bisa dengan menyebarluaskan pemahaman negative social proof (berkali-kali) untuk menjadi solusi bersama.

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023