Society Planet & People

Tuntutan Citra Laki-Laki dalam Masyarakat

“Loh, masa laki-laki sukanya nonton drama korea, sih?”

“Aneh banget ya dia, laki-laki tapi cita-citanya jadi penari.”

“Laki-laki tuh minumnya kopi hitam”

Pernah dengar kata-kata serupa? Sepertinya sebagian besar dari kita familiar dengan komentar yang senada dengan contoh tadi. Secara tidak tertulis ada anggapan bahwa menjadi laki-laki artinya tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya sebagai manusia. Mulai dari tidak boleh menunjukkan emosi, tidak bebas mengekspresikan minat, dan asumsi bahwa semestinya olahraga adalah hobi wajib para pria. 

Kesan tangguh pun diharapkan nampak dari pilihan makanan dan minuman yang kita pilih, misalnya laki-laki yang dianggap lebih ideal jika minum kopi hitam. Tanpa sadar hal-hal tersebut sering kita jumpai dalam interaksi keseharian dan sudah dianggap sebagai komentar yang wajar. 

Beragam komentar tersebut sudah mulai kita dengar dan terima sejak masih duduk di bangku sekolah. Tanpa sengaja terkadang publik menilai maskulinitas seseorang berdasarkan poin-poin yang tidak masuk akal. Misalnya, menganggap seorang siswa kurang maskulin karena tidak antusias saat pelajaran olahraga atau saat mengetahui fakta bahwa hobinya adalah memasak  atau dari selera genre musik yang digemarinya.

Fakta bahwa penerimaan masyarakat masih memegang peran penting dalam konsep maskulinitas seorang pria, membuat banyak laki-laki merasa enggan untuk turut melakukan pekerjaan domestik. Laki-laki seakan dituntut oleh lingkungan untuk bisa mempertahankan posisinya sebagai pihak yang lebih superior daripada perempuan di rumah. Sedangkan pekerjaan domestik selama ini dianggap sebagai pekerjaan yang inferior, sehingga merasa tugas-tugas rumah tangga lebih cocok dikerjakan oleh perempuan.

Menurut saya, pekerjaan rumah seperti mencuci baju, memasak, menyetrika pakaian maupun mengurus dan mengasuh anggota keluarga bisa dilakukan oleh siapa saja. Baik laki-laki atau perempuan, karena ini merupakan kemampuan dasar bertahan hidup manusia.  

Bayangkan bila kita sebagai laki-laki sama sekali tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik, pasti kita akan kebingungan saat harus hidup sendiri tanpa dampingan siapapun. Saya tumbuh besar di keluarga yang tidak memandang peran gender dalam urusan rumah tangga. Semuanya harus mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik agar rumah terasa nyaman dan bersih saat ditinggali. 

Sejauh yang saya alami, saya tidak pernah mendapat respon negatif dari lingkungan sekitar saat ikut mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kalau seandainya memang ada, saya akan tetap mengatakan bahwa setiap anggota keluarga bisa saling membantu satu sama lain, termasuk dalam hal mencuci piring atau memasak. Dalam hal mengasuh anak pun demikian, saya juga percaya bahwa ini bisa dilakukan oleh perempuan dan juga laki-laki.

Tidak bisa dipungkiri bahwa tak jarang laki-laki mendapat komentar negatif saat turut serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Selain faktor penerimaan masyarakat ada alasan lain yang juga membuat laki-laki enggan ikut andil dalam pekerjaan rumah tangga.

Pertama, masih banyak orang tua atau anggota keluarga lain yang tidak memberikan kesempatan untuk laki-laki ikut berpartisipasi dalam mengerjakan pekerjaan domestik. Sehingga, anak laki-laki menjadi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukan pekerjaan domestik. Bagi anak lelaki yang mungkin tidak pernah melihat ayahnya ikut membantu pekerjaan rumah, ia jadi tidak memiliki pengetahuan dan contoh yang cukup mengenai peran laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.  

Kedua, sebagai akibat dari alasan pertama, sebagian laki-laki akan menganggap bahwa ia memang tidak perlu membantu melakukan pekerjaan rumah. Ketika mereka berumah tangga, tidak sedikit suami yang menjadi ragu untuk membantu pekerjaan domestik karena khawatir pekerjaan yang dilakukannya tidak sesuai dengan ekspektasi pasangannya. Nah, pengalaman ini yang membuat laki-laki merasa, kalau  yang ia lakukan hanya membuang waktu dan tenaga, karena pada akhirnya pekerjaan tersebut akan diulang oleh istrinya dan memilih tidak akan melakukannya kembali

Ketiga, karena sering mendapat kritik bahkan ejekan oleh orang lain. Misalnya, ada laki-laki yang sudah mau mengerjakan tugas rumah tangga tapi kemudian mendapat komentar negatif dari teman-temannya. Ia akan merasa bahwa mengerjakan tugas rumah tangga adalah hal yang tidak sepatutnya laki-laki kerjakan atau malah memalukan.

Padahal, sebagai laki-laki, mengerjakan pekerjaan domestik tidak ada ruginya karena jika kamu masih lajang, kamu akan mampu untuk dapat bertahan hidup sendiri. Bagi kamu yang sudah berumah tangga, kamu dapat membagi beban yang sama dalam rumah tangga.

Kita bisa mulai dengan menjalin komunikasi, coba diskusikan pekerjaan apa saja yang bisa dibagi dan dikerjakan bersama atau berinisiatif dalam menjalankan pekerjaan domestik. Kita juga bisa berbincang mengenai bagaimana kita dapat berbagi tugas agar bisa sama-sama nyaman tinggal di rumah.

Kalau memang belum paham cara mengerjakannya jangan ragu untuk bertanya kepada anggota keluarga lainnya atau bahkan mencari informasi di internet tentang bagaimana harusnya sebuah pekerjaan rumah tangga dilakukan dan diselesaikan. Semua orang juga pernah bingung saat lihat serangkaian tombol mesin cuci atau mesin penanak nasi untuk pertama kali, atau ketika harus membedakan satu jenis sayuran dan aneka bumbu dapur ketika melakukan belanja bulanan. Itu semua itu dapat dipelajari dan semakin sering dilakukan akan semakin terbiasa dan semakin cakap.  

Agar bisa hidup berdampingan dengan nyaman dan setara, kita dapat saling  bekerja sama, dimulai dari lingkungan sosial terkecil yakni keluarga.  Selain itu, kita tidak perlu takut dianggap kurang maskulin hanya karena ikut membantu pekerjaan rumah, sudah waktunya kita, sebagai laki-laki ikut serta untuk #RaiseTheBar dan menentukan standar diri kita sendiri. Sebagai manusia kita akan selalu butuh hidup berdampingan satu sama lain #TanpaPenghalang.

Agar bisa hidup berdampingan dengan nyaman dan setara, kita dapat saling  bekerja sama, dimulai dari lingkungan sosial terkecil yakni keluarga. 

 

 

Referensi:

Heilman, B., & Barker, G. (2018). Masculine norms and violence: Making the connections. Promundo-US, Washington, DC

Rosida, I., Merdeka, P., Chaliza, A. N., Nisa, A. A., & Sodikin, M. (2022). Toxic masculinity in Michael Rohrbaugh’s American Male. LITERA, 21(1).

Related Articles

Card image
Society
Kembali Merangkul Hidup dengan Filsafat Mandala Cakravartin

Mengusahakan kehidupan yang komplit, penuh, utuh, barangkali adalah tujuan semua manusia. Siapa yang tidak mau hidupnya berkelimpahan, sehat, tenang dan bahagia? Namun ternyata dalam hidup ada juga luka, tragedi dan malapetaka. Semakin ditolak, semakin diri ini tercerai berai.

By Hendrick Tanuwidjaja
10 June 2023
Card image
Society
Melatih Keraguan yang Sehat dalam Menerima Informasi

Satu hal yang rasanya menjadi cukup penting dalam menyambut tahun politik di 2024 mendatang adalah akses informasi terkait isu-isu politik yang relevan dan kredibel. Generasi muda, khususnya para pemilih pemula sepertinya cukup kebingungan untuk mencari informasi yang dapat dipercaya dan tepat sasaran.

By Abigail Limuria
15 April 2023
Card image
Society
Optimisme dan Keresahan Generasi Muda Indonesia

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada 2022 lalu, British Council Indonesia meluncurkan hasil riset NEXT Generation. Studi yang dilakukan di 19 negara termasuk Indonesia ini bertujuan untuk melihat aspirasi serta kegelisahan yang dimiliki anak muda di negara masing-masing.

By Ari Sutanti
25 March 2023